Pendidikan sebagai media menjadi Insan Kamil

Senin, 18 Januari 2016

Sabtu, 02 Januari 2016

Kisah sebagai Materi dan Metode dalam Pendidikan Islam; Kajian Tafsir Maudhu’i Atas Surat Al Qasas Ayat 76, 78-82


Kisah sebagai Materi dan Metode dalam Pendidikan Islam; Kajian Tafsir Maudhu’i Atas Surat Al Qasas Ayat 76, 78-82

(Anis Zulia A'limatun Nisa)

1.      Pendahuluan
Muhammad SAW sebagai Nabi akhir zaman telah dianugerahi oleh Allah beberapa mukjizat, mukjizat yang paling agung adalah kitab suci Al Quran. Al Quran sebgai kitab suci Ummat Islam berisi tentang ajaran yang diterima dari Allah.
Studi tentang kisah- kisah dalam Al Quran merupakan studi yang luas cakupannya sebab seperempat atau lebih dari Al Qur’an memuat tentang kisah-kisah. Al Quran memilki 30 jus, maka kisah menempati hampir 8 juz. Dengan porsi tersebut menunjukkan bahwa kisah-kisah di dalam Al Quran penting untuk dikaji.[1]  Sehingga di dalamnya terdapat sebuah surat bernama al Qishash. Satu surat tersebut tidak menafikan surat lain yang berisi kisah karena selain yang terdapat dalam surat tersebut juga masih banyak kisa-kisah yang terkandung dalam Al Quran Karim.
Sebagai wahyu, kisah-kisah yang terkandung dalam Al Quran memiliki karakteristik masing-masing yang berkaitan dengan sejarah. Menurut As Suyuti yang dikutip oleh Muhammad Chirzin, Kisah di dalam Al Quran tidak dimaksudkan untuk mengingkari sejarah lantaran sejarah dianggap salah dan membahayakan Al Quran, kisah-kisah dalam Al Quran merupakan petikan-petikan dari sejarah sebagai pelajaran kepada umat manusia dan bagaimana mestinya manusia mengambil manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah tersebut.
Oleh karena itu kisah dalam Al-Qur’an memiliki makna tersendiri bila dibandingkan isi kandungan yang lain. Maka perlu kiranya kita sebagai umat Islam untuk mengetahui isi kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an sehingga kita dapat mengambil pelajaran dan mengetahui relevansi kisah Al-Qur’an dalam pendidikan.
Kisah yang diceritakan dalam Al Quran sangat beraneka ragam, diantaranya diceritakan juga tentang kelemahan yang dimiliki manusia. Dalam hal tersebut, Al Quran menggambarkan sebagaimana adanya tanpa menonjolkan segi-segi yang dapat mengundang tepuk tangan atau rangsangan. Kisah tentang kelemahan manusia diakhiri dengan penjelasan tentang akibat kelamahan tersebut, dan juga menggambarkan kesadaran manusia tentang kelamahan manusia serta kemanangan yang didapat oleh manusia setelah mengatasi kelemahan tersebut.
Surat Al Qashash termasuk dalam surat yang beberapa ayat di dalamnya menceritakan kisah yang mengandung kelemahan manusia, yaitu ayat 76-81.[2] Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa pada mulanya Qarun bangga dengan kekayaan yang dimilikinya, dia telah menafikan Allah karena menganggap kekayaannya diperoleh dengan usahanya sendiri, kekayaan yang dimilikinya membuat orang-orang yang disekitarnya kagum, namun kekaguman itu tidak bertahan lama, karena secara tiba-tiba gempa menelan Qarun dan kekayaannya. Orang-orang yang semula kagum menyadari bahwa orang yang durhaka tidak pernah memperoleh keberuntungan yang abadi. Oleh karena itu, penulis mengambil beberapa ayat dari surat Al Qashash yang mengandung kisah kelemahan manusia, selanjutnya akan dijelaskan metode dan materi pendidikan Islam dari kisah yang terdapat dalam ayat tersebut. Materi dan metode pendidikan Islam didapat dari tafsiran ayat 76-84. Penulis menggunakan metode maudhu’i.

2.      Kisah; bagian dari kandungan isi Al Quran
Dari segi bahasa, kata kisah berasal dari bahasa arab qashshu atau qishshotu yang berarti cerita. Kata tersebut sepadan dengan tatabbu’ul atsrari yaitu pengulangan kembali hal masa lalu. Dari segi istilah, kisah berarti berita-berita mengenai suatu permasalahan dalam masa yang saling berturut-turut. Qashshash Al Quran adalah pemberitaan Al Quran mengenai hal ikhwal umat terdahulu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa- peristiwa yang telah terjadi.[3] Menurut Hasbi al-Shididiy qishahul quran adalah kabar-kabar al-qur’an mengenai keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
Dari pengertian yang dikemukakan diatas dipahami bahwa kisah yang ditampilkan Al Qur’an adalah kisah yang pernah terjadi di masa lampau untuk dijadikan pelajaran dan petunjuk bagi setiap orang untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang baik dan benar.
Al Quran banyak mengandung kejadian di masa lalu, Al Quran menceritakan keadaan zaman dulu dengan cara yang menarik sehingga membuat pembaca dan pendengar tertarik untuk mengkaji ayat-ayat tentang kisah. Kisah yang ditampilkan disesuaikan dengan maksud dan tujuan, oleh karena itu terkadang ada beberapa ayat yang diulang-ulang dalam mengisahkan suatu peristiwa.
Dengan demikian sebagaimana dinyatakan oleh Sayyid Qutb dan dikutib oleh Nasarudin Umar menjelaskan bahwa jenis-jenis kisah dalam Al Quran adalah sebagai berikut[4]:
a.       Kisah-kisah para Nabi, meliputi dakwah Nabi, mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah kepada para Nabi, perjalanan dakwah dan perkembangannya dan akibat yang menimpa orang beriman dan orang yang mendustakan para nabi. Kisah-kisah para nabi tersebut menjadi informasi yang sangat berguna bagi upaya meyakini para Nabi dan rosul Allah, selain itu kisah para Nabi juga bisa dijadikan teladan bagi kehidupan seseorang. Keteladanan diperlukan agar seseorang memiliki sosok yang bisa dijadikan idola.
b.      Kisah-kisah Qur’ani yakni berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi di waktu lampau seperti kisah ashabul kahfi, zul qarnain ashabus sabt, kisah maryam dan sebagainya. Kisah tersebut ada yang patut kita teladani dan tidak perlu diteladani.. 
c.       Kisah- kisah  yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Seperti perang uhud, Badr, kisah hijrah, Isra’ Mi’raj dan lain-lain. Kisah-kisah tersebut digunakan untuk memantapkan keyakinan dan keimanan Ummat.
Menurut Manna’ Khalil Al Qaththan yang dikutip oleh Muhammad Chirzin menyatakan bahwa penyajian kisah-kisah dalam Al Quran megandung beberapa hikmah, diantaranya[5]: pertama, menjelaskan balaghah Al Quran dalam tingkat paling tinggi. Kedua, menunjukkan kehebatan Al Quran. Ketiga, mengundang perhatian yang besar terhadap kisah agar pesan yang terkandung lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Keempat, penyajian kisah dalam ayat ayat Al Quran menunjukkan perbedaan tujuan.
 Sebagaimana dikatakan Sayyid Qutb yang dikutip oleh Nasarudin Umar menyatakan bahwa kisah-kisah Al Quran memiliki tujuan untuk[6]:
a.     Menguatkan Aqidah ke dalam diri Muhammad dan umat Islam pada umumnya, merangsang akal, menghidupkan hati. Ketga hal tersebut merupakan elemen yang paling asasi. Ketiga elemen itu akan menyerap kisah-kisah Al Quran sebab kisah-kisah tersebut dijelaskan dalam kerangka uluhiyah Tuhan yang meliputi keesaan, keadilan, kekuatan, hikmah dan cinta Tuhan kepada hamba-hamba_Nya.
b.     Menguatkan kebenaran wahyu dan risalah. Nabi Muhammad yang semula tidak bisa menulis dan  membaca (ummi), tidak mengetahui tentang kisah-kisah dari kaum Nasrani dan Yahudi bisa mengetahui melalui kisah yang ada dalam ayat-ayat Al Quran.
c.      Menjelaskan bahwa agama berasal dari Allah, dari masa Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad. Kebanyakan kisahpara Nabi terdapat dalam satu surat dengan alur cerita tertentu hal tersebut bertujuan untuk menguatkan aqidah dan jiwa.
d.     Menjelaskan bahwa semua agama memiliki asas yang tunggal, karena semua agama berasal dari satu Tuhan, sehingga ditetapkan aqidah yang asasiyah yakni iman kepada Allah.
e.      Menjelaskan adanya hubungan antara agama Muhammad dan agama Ibrahim dengan sifat-sifat tertentu dan agama-agama Israel dengan sifat yang umum.
f.       Menjelaskan bahwa Allah menolong para Nabi di akhir-akhir dan menghancurkan para pembohong sehingga lebih menguatkan hati Nabi Muhammad dan berpengaruh di dalam jiwa-jiwa orang yang mnyeru kepada keimanan.
g.     Menjadi pembenaran akan adanya kabar baik dan pemberi peringatan.
h.     Menjelaskan akan nikmat Allah terhadap para Nabi.
i.       Menjadi peringatan kepada anak-anak Adam agar tidak terperangkap dalam jurang setan dan permusuhan-permusuhan.
j.       Menunjukkan kuasa Allah atas segala penciptaannya, penciptaan Adam, Isa dan sebagainya.
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an merupakan salah satu cara yang dipakai Al-Qur’an untuk mewujudkan tujuan yang bersifat agama. Al-Qur’an sebagai kitab dakwah agama dan kisah menjadi salah satu medianya untuk menyampaikan dan memantapkan dakwah tersebut. Oleh karena tujuan yang bersifat religius, maka keseluruhan kisah dalam Al Quran tunduk pada tujuan agama baik tema, cara-cara pengungkapan, maupun penyebutan peristiwanya.[7] Namun ketundukan secara mutlak terhadap tujuan agama bukan berarti ciri-ciri kesusasteraan pada kisah-kisah tersebut sudah menghilang sama sekali, terutama dalam penggambarannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan kisah Al-Qur’an adalah untuk tujuan agama, tidak sekedar kisah namun disisi lain untuk membuktikan kekuasaan Tuhan dan membuktikan bahwa manusia dapat berhubungan dengan Tuhan.

3.      Kisah sebagai Materi dan Metode Pendidikan Islam
Al Quran mengarahkan manusia untuk menjadi manusia seutuhnya, oleh karena itu materi-materi pendidikan yang terdapat dalam Al Quran selalu mengarah pada jiwa, akal dan raga manusia. Dalam penyajian materi, Al Quran membuktikan kebenaran materi melalui pembuktian-pembuktian, baik dengan argumentasi yang telah dikemukakan Al Quran maupun dibuktikan oleh manusia melalui penalaran.[8] Dengan adanya kisah yang terkandung dalam ayat-ayat Al Quran, manusia sebagai makhluk yang terdidik dan mendidik bisa mengambil ibrah dari kisah untuk menjadi materi pendidikan.
Metode merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan, metode yang tidak tepat dan tidak memberi kenyamanan pada pendidik sehingga akan sulit mencapai tujuan pendidikan. Metode pendidikan tidak terlepas dari ajaran pokok umat Islam yakni Al Quran. Al Quran sebagai kitab suci umat Islam memuat berbagai informasi tentang seluruh kehidupan yang berkaitan dengan manusia. tujuan diturunkannya Al Quran adalah sebgai sumber pedoman, sumber inspirasi dan sumber ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan.[9]
Sebagian besar ayat-ayat yang terkandung dalam Al Quran berisi tentang kisah. Kisah sebagai salah satu cara yang digunakan Al Quran untuk mengarahkan manusia  kearah yang telah dkehendaki. Setiap kisah menunjang materi yang disajikan, baik kisah yang benar-0benar terjadi maupun simbolik.[10]
Dalam pendidikan Islam, kisah mempunyai fungsi edukatif. Kisah dalam Al Qur’an merupakan peristwa yang benar-benar terjadi pada manusia terdahulu dan merupakan peristiwa sejarah yang dapat dibuktikan kebenarannya secara filosofis secara ilmiah melalui saksi-saksi bisu berupa pennggalan orang-orang terdahulu.[11]
Dalam perspektif teori pendidikan, cerita atau kisah merupakan bentuk penyampaian pesan penting terhadap anak didik tanpa harus menyertakan intruksi yang bermuatan keseriusan serta dapat membangkitkan imaginasi peserta didik namun harus tetap waspada terhadap kelemahan yang akan terjadi.[12]
Kisah- kisah yang terdapat pada ayat- ayat Al Qur’an memberikan dampak psikologis dan edukatif yang baik sehingga mengantar peserta didik pada kehidupan dan kedinamisan jiwa yang mendorong manusia untuk mengubah perilaku yang lebih baik berdasarkan kisah yang telah diterima.
Kisah-kisah dalam al-Qur’an mempunyai urgensi yang cukup tinggi pada anak, terutama cerita yang bernilai tauhid dan akhlak yang akan mampu mendekatkan anak pada nilai-nilai fitrahnya, serta menumbuh kembangkannya secara wajar pembinaan mental dan spiritual anak.

4.      Kajian Tafsir Surat Al Qashash ayat 76, 78-84; Metode Maudhu’i
Metode maudhu’i yaitu, metode penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara memilih topik tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya dalam al-Quran yang berhubungan dengan topik tersebut, lalu dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat menjelaskan, kemudian ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang saling terkait itu.
Metode ini diperkenalkan pertama kalinya oleh Syekh Mahmud  Syaltut (1960 M) ketika menyusun tafsirnya, Tafsir Al-Qur’anul Karim. Sebagai penerapan ide yang dikemukakan oleh asy-Syatibi, ia berpendapat bahwa setiap dalam surat walaupun masalah yang dikemukakan berbeda-beda namun ada satu tema yang sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda tersebut. Ide ini kemudian dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumi. Ketua Jurusan Tafsir pada fakultas Usuluddin Universitas AL-Azhar sampai tahun 1981. Berikutnya Prof. Dr. Al-Farmawi menyusun sebuah buku yang memuat langkah-langkah tafsir maudhu’I yang diberi judul al-bidayah wan nihayah fi tasir al-maudhu’i.[13]
Langkah – langkah yang ditempuh dalam menerapkan tafsir maudhu’i atas surat Al Qashash ayat 76, 78-82, antara lain:
a.    Penetapan masalah
Al Quran mengandung beberapa pokok bahasan, diantaranya adalah tentang kisah. Sejarah atau kisah yang terdapat dalam Al Quran adalah cerita mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang mendapatkan kejayaan akibat taat kepada Allah SWT serta ada juga yang mengalami kebinasaan akibat tidak taat atau ingkar terhadap Allah SWT. Dalam surat Al Qashash mengandung kisah tentang kelemahan yang dimiliki manusia. Kisah tersebut akan direlevansikan dalam pendidikan, yakni bagaimana kisah tersebut menjadi metode dan materi dalam pendidikan Islam.
b.    Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah.
Kisah-kisah yang terdapat dalam Al Quran antara lain:
1.    Kisah orang-orang Nasrani
* ¨bÎ) tbr㍻s% šc%Ÿ2 `ÏB ÏQöqs% 4ÓyqãB 4Óxöt7sù öNÎgøŠn=tæ ( çm»oY÷s?#uäur z`ÏB ÎqãZä3ø9$# !$tB ¨bÎ) ¼çmptÏB$xÿtB é&þqãZtGs9 Ïpt6óÁãèø9$$Î/ Í<'ré& Ío§qà)ø9$# øŒÎ) tA$s% ¼çms9 ¼çmãBöqs% Ÿw ÷ytøÿs? ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûüÏm̍xÿø9$# ÇÐÏÈ  
2.    Kisah Maryam
$£Jn=sù $pk÷Jyè|Êur ôMs9$s% Éb>u ÎoTÎ) !$pkçJ÷è|Êur 4Ós\Ré& ª!$#ur ÞOn=÷ær& $yJÎ/ ôMyè|Êur }§øŠs9ur ãx.©%!$# 4Ós\RW{$%x. ( ÎoTÎ)ur $pkçJø£Jy zOtƒötB þÎoTÎ)ur $ydäŠÏãé& šÎ/ $ygtG­ƒÍhèŒur z`ÏB Ç`»sÜø¤±9$# ÉOŠÅ_§9$# ÇÌÏÈ 
3.    Kisah Pemilik kebun
$¯RÎ) öNßg»tRöqn=t/ $yJx. !$tRöqn=t/ |=»ptõ¾r& Ïp¨Ypgø:$# øŒÎ) (#qãK|¡ø%r& $pk¨]ãBÎŽóÇus9 tûüÏÛÎ6óÁãB ÇÊÐÈ  


4.    Kisah Pasukan bergajah
óOs9r& ö@yèøgs ö/èfyøŠx. Îû 9@Î=ôÒs? ÇËÈ   Ÿ@yör&ur öNÍköŽn=tã #·ŽösÛ Ÿ@Î/$t/r& ÇÌÈ   NÎgÏBös? ;ou$yÚÏt¿2 `ÏiB 9@ŠÅdÚÅ ÇÍÈ   öNßgn=yèpgmú 7#óÁyèx. ¥Aqà2ù'¨B ÇÎÈ  
5.    Kisah Ashabul Kahfi
ôQr& |Mö6Å¡ym ¨br& |=»ysô¹r& É#ôgs3ø9$# ÉOŠÏ%§9$#ur (#qçR%x. ô`ÏB $uZÏF»tƒ#uä $·6pgxå ÇÒÈ   øŒÎ) urr& èpu÷FÏÿø9$# n<Î) É#ôgs3ø9$# (#qä9$s)sù !$uZ­/u $uZÏ?#uä `ÏB y7Rà$©! ZptHôqy ø×Ähydur $oYs9 ô`ÏB $tR̍øBr& #Yx©u ÇÊÉÈ  

c.    Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan asbabun nuzul ayat.
Ibnu ‘Asyur menulis bahwa Surat Al Qashash ayat 86 berhubungan dengan ayat sebelumnya dari sisi janji yang dikandungnya berupa ganjaran yang besar atau kemenangan yang jelas.
Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari adl Dlahhak dikemukakan, ketika Nabi SAW hijrah dari mekah ke Madinah, sesampainya di Juhfah beliau sangat mengharapkan dapat kembali ke kota Mekah. Surat Al Qashash ayat 85 turun sebagai janji Allah kepada beliau untuk mengembalikannya kelak ke Mekah.
Ayat 86 bagaikan menyatakan bahwa kini engkau tidak menduga bahwa engkau dapat kembali ke tumpah darahmu membawa  kemenangan, tidak ubahnya dengan keadaanmudahulu yang tidakpernah menduga akan mendapat wahyu yang membimbingmu beserta umat manusia menuju jalan kebahagiaan.
Ayat ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai ayat makkiyah yang terakhir. Pendapat ini dapat dibenarkan jika kita membenarkan menyatakan bahwa ia turun di Jahfah dalam perjalanan Nabi SAW menuju madinah.

d.   Memahami korelasi ayat dengan surat lain.
 Pada surat Al Qashash  menerangkan bahwa Qarun itu termasuk kaum Nabi Musa. Ia Bani Israel dan salah seorang paman Nabi Musa as. Karun dinamakan juga "Munawwirin" (bercahaya) karena bentuk badannya yang simpatik. Ia paling banyak membaca kitab Taurat dari antara teman-temannya Bani Israel secara mendalam, hanya dia termasuk orang yang munafik seperti halnya Samiri. Dia berlaku aniaya dan sombong terhadap sesamanya Bani Israel. Kekayaan melimpah-limpah yang diberikan Allah kepadanya, dan perbendaharaan harta yang cukup banyak itu, sehingga kunci-kunci tak sanggup rasanya dipikul oleh sejumlah orang-orang yang kuat karena beratnya, menyebabkan ia sangat bangga dan berlaku aniaya dan sombong terhadap sesamanya. Peringatan dan larangan terlalu gembira dan bangga atas pemberian Allah itu, ditegaskan juga dalam ayat lain, sebagaimana firman-Nya: 

ŸxøŠs3Ïj9 (#öqyù's? 4n?tã $tB öNä3s?$sù Ÿwur (#qãmtøÿs? !$yJÎ/ öNà69s?#uä 3 ª!$#ur Ÿw =Ïtä ¨@ä. 5A$tFøƒèC Aqãsù ÇËÌÈ    

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri (Q.S. Al Hadid: 23)” 

* (#rßç6ôã$#ur ©!$# Ÿwur (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä `tB tb%Ÿ2 Zw$tFøƒèC #·qãsù ÇÌÏÈ  


Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Q.S. An Nisa: 36)”

 Kedua ayat tersebut mengandung kolerasi dengan kandungan surat Al Qashash yang menjadi pokok bahasan. Dalam surat Al Qashash dikisahkan pelaku atau orang yang melakukan kesombongan, adapun pada surat Al Hadid dan An Nisa menjelaskan tentang sikap sombong atau membanggakan diri itu ternasuk sifat yang tidak disukai Allah. Sehingga menjadi penguat bahwa sifat sombong itu tidak boleh dimilki manusia karena akan merugikan diri sendiri dan orang lain, baik di neraka maupun di surga.

e.    Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
Surat Al Qashash ayat 76, 77-82 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian ayat tersebut ditafsiri dengan metode ijmali. Ayat-ayat tersebut juga ditafsiri dengan merujuk pada tafsir Al Maraghi dan tafsir Al Misbah. Dari tafsiran tersebut penulis mengkolerasikan dengan pendidikan, lebih khusus menjadikan kisah tersebut menjadi metode dan materi dalam pendidikan Islam.
Metode dan materi yang terwujud dari kisah ditinjau ulang sehingga didapat landasan pendidikan dalam kajian filsafat. Aspek filsafat yang dikaji Adela ontology, epistemology dan aksiologi.
f.     Melengkapi dengan hadits yang relevan.
Takabbur atau sombong adalah lawan kata dari tawaddu’ atau rendah hati. Dan merupakan salah satu jenis penyakit hati yang telah memakan banyak korban seperti : Raja Fir’aun dan bala tentaranya, Namrud, Abu Jahal dan Abu lahab, kaum Yahudi dan masih banyak contoh lagi.
Menurut tata bahasa Takabbur semakna dengan ta’azhzum, yakni menampak-nampakkan keagungan dan kebesarannya, merasa agung dan besar. Penyusun kamus Lisanul Arab mengatakan “takabbur dan istikbar ialah ta’azhzum, merasa besar dan menampak-nampakkan kebesarannya (sombong).”
Perbedaan antara takabbur, ujub dan ghurur adalah bahwa ujub itu mengagumi atau membanggakan diri dari segala seuatu yang timbul darinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan tapi tidak merendahkan dan meremehkan orang lain.
Ghurur adalah sikap ujub yang ditambah sikap meremehkan dan menganggap kecil apa yang timbul dari orang lain tapi tidak merendahkan orang lain. Dalam salah satu haditsnya Rasullullah SAW bersabda, yang artinya :
“Tidaklah masuk surga orang yang didalam hatinya ada penyakit kibr (takabbur) meskipun hanya seberat dzarroh.” Kemudian ada seorang laki-laki berkata : “Sesungguhnya seseorang itu suka pakaiannya bagus dan sandalnya/sepatunya bagus.” Beliau menjawab,“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kibr (takabbur/sombong) itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim).

Hadits tersebut menjelaskan Allah tidak mengharapkan hamba Nya mempunyai penyakit hati, takabbur, sombong dan sifat-sifat lain yang merugiakan diri sendiri dan orang lain. Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sifat yang tidak diridhoi Allah menolak kebenaran Allah dan merendehkan orang lain, oleh karena itu Allah tidak menyukai hal-hal yang tidak indah.
g.    Ayat- ayat yang sesuai dengan tema; kisah sebagai metode dan materi pendidikan
Surat Al Qashash ayat 76-84 adalah satu rangkaian kisah tentang Qarun. Penulis fokus pada ayat yang ke 76, 78 - 82 dalam menjadikan kisah tersebut menjadi metode dan materi pendidikan Islam.

* ¨bÎ) tbr㍻s% šc%Ÿ2 `ÏB ÏQöqs% 4ÓyqãB 4Óxöt7sù öNÎgøŠn=tæ ( çm»oY÷s?#uäur z`ÏB ÎqãZä3ø9$# !$tB ¨bÎ) ¼çmptÏB$xÿtB é&þqãZtGs9 Ïpt6óÁãèø9$$Î/ Í<'ré& Ío§qà)ø9$# øŒÎ) tA$s% ¼çms9 ¼çmãBöqs% Ÿw ÷ytøÿs? ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûüÏm̍xÿø9$# ÇÐÏÈ  

“Sesungguhnya Qarun adalah Termasuk kaum Musa, Maka ia Berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri".

Pada ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa Qarun itu termasuk kaum Nabi Musa. Ia Bani Israel dan salah seorang paman Nabi Musa as. Qarun berlaku aniaya dan sombong terhadap sesamanya Bani Israel. Kekayaan berlimpah yang diberikan Allah kepadanya, dan perbendaharaan harta yang cukup banyak mempunyai kunci yang besar sehingga tidak sanggup rasanya jika dipikul oleh sejumlah orang-orang yang kuat karena beratnya, hal tersebut menyebabkan ia sangat bangga dan berlaku aniaya dan sombong terhadap
Berkata Ibnu `Abbas, kunci-kunci perbendaharaan harta Karun dapat dibawa oleh empat puluh laki-laki yang kuat. Sekalipun ia diperingatkan oleh kaumnya agar ia jangan terlalu membanggakan hartanya yang berlimpah-limpah, dan kekayaan yang bertumpuk-tumpuk itu, karena Allah SWT tidak menyukai orang yang terlalu membanggakan diri, tetapi peringatan itu tidak digubrisnya sama sekali dan ia tetap bangga dan menyombongkan diri. Peringatan dan larangan terlalu gembira dan bangga atas pemberian Allah itu.
tA$s% !$yJ¯RÎ) ¼çmçFÏ?ré& 4n?tã AOù=Ïæ üÏZÏã 4 öNs9urr& öNn=÷ètƒ žcr& ©!$# ôs% y7n=÷dr& `ÏB ¾Ï&Î#ö7s% šÆÏB Èbrãà)ø9$# ô`tB uqèd x©r& çm÷ZÏB Zo§qè% çŽsYò2r&ur $Yè÷Hsd 4 Ÿwur ã@t«ó¡ç `tã ÞOÎgÎ/qçRèŒ šcqãB̍ôfßJø9$# ÇÐÑÈ   yltysù 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% Îû ¾ÏmÏFt^ƒÎ ( tA$s% šúïÏ%©!$# šcr߃̍ムno4quŠysø9$# $u÷R9$# |Møn=»tƒ $oYs9 Ÿ@÷WÏB !$tB šÎAré& ãbr㍻s% ¼çm¯RÎ) rä%s! >eáym 5OŠÏàtã ÇÐÒÈ   tA$s%ur šúïÏ%©!$# (#qè?ré& zNù=Ïèø9$# öNà6n=÷ƒur Ü>#uqrO «!$# ׎öyz ô`yJÏj9 šÆtB#uä Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ Ÿwur !$yg9¤)n=ムžwÎ) šcrçŽÉ9»¢Á9$# ÇÑÉÈ  

 “Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.”
“Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar".
“berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar".

Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan bahwa Qarun sengaja tampil di depan kaumnya dengan seluruh kemegahan yang dimilikinya, sebagian ummatnya menasehatinya namun Qarun tetap bersikeras dengan kedurhakaannya, oleh karena itu sangat wajar jika Allah telah memberi sanksi kepadanya. Ayat tersebut menjelaskan konsekuensi keimanan dan amal saleh serta menerima ujian dan cobaan dari Allah.
 Kata zinatihi terambil dari kata zinah yang berarti perhiasan, yaitu segala hal yang dinilai indah dan baik oleh seseorang. Sesuatu yang baik dalam pandangan diri kita belum tentu itu baik yang sebenarnya karena sesuatu yang kita kenakan baik dan dipandang orang lain baik maka kebaikan dari sesuatu itu ada pada diri orang lain bahkan bisa menjadi keburukan bagi diri kita sendiri. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Qarun telah keluar dengan perhiasannnya, besar kemungkinan bahwa apa yang dianggap hiasan menjadi hal buruk dalam pandangan Allah. Kata perhiasan dalam ayat tersebut berarti pengikut, kendaraan , pakaian dan lain-lai yang semuanya itu ditampilkan untuk menunjukkan keangkuhan dan kekayaannya. Atas dasar itu kata zinatihi dipahami dalam arti kemegahan.[14]
$oYøÿ|¡sƒmú ¾ÏmÎ/ ÍnÍ#yÎ/ur uÚöF{$# $yJsù tb%Ÿ2 ¼çms9 `ÏB 7pt¤Ïù ¼çmtRrçŽÝÇZtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# $tBur šc%x. z`ÏB z`ƒÎŽÅÇtGYßJø9$# ÇÑÊÈ   yxt7ô¹r&ur šúïÏ%©!$# (#öq¨YyJs? ¼çmtR%s3tB ħøBF{$$Î/ tbqä9qà)tƒ žcr(s3÷ƒur ©!$# äÝÝ¡ö6tƒ šXøÎh9$# `yJÏ9 âä!$t±o ô`ÏB ¾ÍnÏŠ$t7Ïã âÏø)tƒur ( Iwöqs9 br& £`¨B ª!$# $oYøn=tã y#|¡ys9 $uZÎ/ ( ¼çm¯Rr(s3÷ƒur Ÿw ßxÎ=øÿムtbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÑËÈ  


 Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan Tiadalah ia Termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).
 “dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu, berkata: "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah)".

Ucapan Kaum beriman yang menyatakan “benarlah “ secara tidak langsung membuktikan kekeliruan Qarun – bahkan boleh jadi dugaan mereka sebelum terjadinya longsor, harta Qarun yang diperoleh karena usahanya sendiri, padahal kekayaan adalah bentuk kasih sayang Allah, dari kejadian tersebut mereka mengakui bahwa pengetahuan, ketaatan dan kekufuran yang menjadi penyebab sempit atau luasnya rizki. Sebenarnya luas dan sempitnya rizki disebabkan adanya sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah.[15]
Adapun tafsiran ayat – ayat tersebut dalam tafsir al Maraghi, adalah sebagai berikut:[16] Ayat-ayat tersebut menyajikan kisah Qarun yang menjelaskan akibat buruk dari orang yang durhaka dan menyombongkan diri baik di dunia maupun di akhirat. Qarun telah dibinasakan dengan goncangan dan himpitan bumi sehingga kezaliman dan kesombongannya menjadi contoh/pelajaran bagi seluruh Umat manusia. Dengan kisah tersebut, manusia akan mengetahui akibat yang diterima orang-orang yang durhaka baik di dunia dan di akhirat. Setelah mengisahkan kedurhakaan dan kesombongan Qarun, Allah menguraikan beberapa bentuk kedurhakaan dan kesombongan Qarun terhadap sesama manusia. Hal tersebut memperdaya kaum bodoh yang tergila-gila dengar harta, namun orang-orang yang mendapat taufik tidak tergila-gila bahkan tetap mengikuti petunjuk Allah. Setelah itu Allah mengisahkan akhir hayat Qarun yang telah terbenamkan ke dalam bumi tanpa pertolongan dari orang lain. Seketika itu orang-orang bodoh menjadi heran atas segala yang terjadi pada Qarun. Kemudian Allah mengemukakan bahwa tempat diberikannya pahala adalah negeri akhirat. Allah memberikan pahala bagi hamba_Nya yang mukmin, dan merendahkan diri serta tidak sombong kepada manusia, tidak pula mengadakan kerusakan kepada diri mereka dengan mengambil harta mereka secara tidak benar. Allah menjelaskan bahwa yang terjadi di Negeri akhirat adalah balasan perbuatan di dunia. Juga dijelaskan bahwa balasan kebaikan adalah sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat bahkan lipatan yang hanya diketahui Allah yang Maha mengetahui  yang ghaib sebagai karunia dan rahmat dari Allah, sedangkan balasan kejahatan sebanding sebagai kemurahan dan kasih sayang Allah.
Kisah Qarun selaku umat Nabi Musa yang zalim telah terabadikan dalam Al Quran. Jika ditarik dalam dunia pendidikan, kisah tersebut memuat materi tentang akhlak dan keimanan. Akhlak Qarun kepada manusia tergolong akhlak madmumah, di mana akhlak tersebut tidak bisa menjadi panutan/teladan namun hikmah yang terkandung dalam kisah tersebut dapat diamalkan dalam kehidupan. Rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah merupakan sikap yang harus ditanamkan pada diri manusia. Rasa syukur merupakan akhlak mahmudah, dimana syukur itu sebgai wujud terima kasih atas pemberian Allah. Dengan materi akhlak yang telah ditentukan oleh pendidik, maka kisah tersebut disampaikan pada peserta didik dengan kisah yang lebih variatif dan menarik namun tetap mengandung inti kisah yang terdapat dalam kandungan ayat tersebut.


5.      Telaah
Kisah yang menceritakan tentang kesombongan Qarun bisa menjadi materi pendidikan. Dalam bidang Aqidah, materi yang bisa disampaikan pada peserta didik adalah tentang keimanan, dimana seseorang yang beriman akan mampu menghadapi sifat lemah manusia. Dalam bidang akhlak, materi yang bisa disampaikan adalah berbagai macam akhlak yang dimiliki oleh orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman sekaligus dampak negative dan positif yang ditimbulkan. Dalam bidang ilmu Al Quran bisa disampaikan bagaimana cara membaca dan menganilis ayat tersebut sesuai dengan bidang ilmu Al Quran, misalnya makharijul huruf, tajwid dan ilmu-ilmu Al Quran yang lain.
Berkaitan dengan metode, kisah tersebut bisa diceritakan kembali dengan gaya bahasa yang lebih menarik, pada umumnya metode tersebut termasuk dalam metode bercerita. Kisah tersebut menjadi suatu perumpamaan untuk menyampaikan materi yang ada di dalam kisah tersebut.
Jika ditinjau secara filosofis, hakikat pendidikan/ yang akan dikaji dalam pendidikan dalam ayat tersebut adalah manusia, manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan, dalam ayat tersebut membicarakan tentang manusia. Tujuan dalam ayat tersebut adalah membentuk manusia yang bisa menikmati negeri akhirat, tujuan tersebut jika ditarik kedalam dunia pendidikan, maka tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut maka hal yang dilakukan adalah mengoptimalkan indra yang telah diberikan Allah kepada manusia.









SIMPULAN

Kisah merupakan bagian dari isi Al Quran, dengan tercantumnya kisah umat terdahulu di dalam ayat Al Quran, manusia di era yang sekarang ini bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah tersebut. Hikmah tersebut tentunya bisa menjadi tuntutan yang bisa diikuti dan dikembangkan ke arah yang lebih baik di era sekarang.
Adapun tentang kisah dalam Al Quran yang menjadi materi dan metode pendidikan disesuaikan dengan tujuan utama dari kisah yang dipaparkan, baru kemudian dikembangkan menjadi metode pendidikan dan materi pendidikan. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam kisah tersebut merupakan materi dalam pendidikan Islam, nilai-nilai tersebut adalah nilai ketauhidan, keimanan, akhlak serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al Quran dan masih terkait dengan ayat yang mengandung kisah tersebut. Adapun untuk metode, kisah tersebut bisa menjadi perumpamaan dalam menjelaskan materi lain atau materi yang terkandung dalam kisah tersebut, misalnya perumpamaan balasan bagi orang yang sombong dan orang yang beriman.
Dalam kajian filsafat pendidikan, maka hakikat “ontologi” dari materi dan metode dapat ditarik dari hakikat manusia itu sendiri, jadi yang menjadi hakikatnya adalah segala yang ada baik yang tampak maupun yang tidak tampak, epistemologinya adalah mengoptimalkan indra yang diberikan Allah agar bisa menuju pada hakikat sesuatu, aksiologi yang terdapat kisah sebagai metode dan materi yaitu mewujudkan peserta didik yang berilmu dan beramal sholeh “memanusiakan manusia”.








Daftar Pustaka

A. Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-Kisah Quran, 1983, Jakarta: Pustaka Al-Husna
Ahmad Izzan dan Saehudin, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat-ayat Berdimensi Pendidikan, 2012, Tangerang: Pustaka Aufa Media
Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan al-Qur’an tentang Pendidikan, 2008, Yogyakarta: TERAS
Ahmad Mustofa Al Maragi,1994, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV Toha Putra
Muhdi, Ali. Pemikiran Pendidikan Perspektif Al-Qur’an. 2013, Yogyakarta: Insyira
Shihab, M. Quraish. Membumikan AL-QURAN, 1992, Bandung: MIZAN
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al Misbah; pesan, kesan dan keserasian Al Quran. Jakrta; Lentera Hati.
Chirzin, Muhammad. Permata Al Quran, 2003, Yogyakarta: QIRTAS
Umar, Nasaruddin. Ulumul Qur’an; Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi Al Quran, 2010, Jakarta: Al Ghazali Center



[1] Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an; Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi Al Quran, (Jakarta: Al Ghazali Center, 2010), hlm. 313.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan AL-QURAN, (Bandung: MIZAN, 1992), hlm. 175.
[3] Pengertian tersebut dikutip oleh Muhammad Chirzin dari bukunya Manna’ Khalil Al Qaththan, baca juga di buku Nasaruddin Umar, Ulumul Quran; Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi Al Quran, (Jakarta: Al Ghazali Center, 2010), hlm. 314.
[4] Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an; Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi Al Quran, (Jakarta: Al Ghazali Center, 2010), hlm. 315.
[5] Muhammad Chirzin, Permata Al Quran, (Yogyakarta: QIRTAS, 2003), hlm. 58.
[6] Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an; Mengungkap Makna-Makna Tersembunyi Al Quran, (Jakarta: Al Ghazali Center, 2010), hlm. 316-323.
[7] A. Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-Kisah Quran, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983),  hlm. 68.
[8] M. Quraish Shihab, Membumikan AL-QURAN, (Bandung: MIZAN, 1992), hlm. 175.
[9] Ahmad Izzan dan Saehudin, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat-ayat Berdimensi Pendidikan, (Tangerang: Pustaka Aufa Media, 2012), hlm. 219.
[10] M. Quraish Shihab, Membumikan AL-QURAN, (Bandung: MIZAN, 1992), hlm. 176.
[11] Ali Muhdi, Pemikiran Pendidikan Perspektif Al-Qur’an, (Yogyakarta: Insyira, 2013), hlm. 201.
[12] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan al-Qur’an tentang Pendidikan, (Yogyakarta: TERAS, 2008), hlm. 151.
[13] M. Quraish Shihab, Membumikan AL-QURAN, (Bandung: MIZAN, 1992), hlm. 114.
[14] Quraish Shihab, Tafsir al Misbah; pesan, kesan dan keserasian Al Quran, (Jakrta; Lentera Hati, 2002), hlm. 412.
[15] Quraish Shihab, Tafsir al Misbah; pesan, kesan dan keserasian Al Quran, (Jakrta; Lentera Hati, 2002), hlm. 414.
[16] Ahmad Mustofa Al Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV Toha Putra, 1994), hlm. 166-184.