Dia, Imamku Menjemputku
Tetesan embun membasahi rerumputan yang menguning, secercah cahaya
merah sembunyi di balik semak, kicau merpati mengajak insan menghamba di waktu
dhuha. Gadis berhijab pink memunguti dedaunan kuning yang telah gugur
meninggalkan tangkai pohon. Sebut saja namanya Azaa. Hampir satu tahun Azaa
mengawali aktifitas pagi dengan kegiatan cinta kebersihan, keindahan dan
kerapian. liku-liku kehidupannya penuh cita dan cinta. Impiannya didasari cinta
murni pada Sang pemilik jiwa dan raga.
Azaa tak berhenti bergerak jika sekitarnya belum terlihat indah,
Azaa punya parameter tersendiri untuk bisa mengatakan ini indah. Kecintaannya
dengan keindahan mengharumkan dirinya di dunia tempat tinggalnya. Azaa gadis
yang tak suka menggunakan lisannya untuk berkata yang tak mengandung manfaat
memilih diam disaat banyak desas-desus yang masih belum Idhar kebenarannya.
“Azaa, apakah kamu akan tetep disini setelah kau mengenakan toga
nantinya?” suara Aliana menghentikan tangannya yang sedang menyetrika pakaian.
Ingin rasanya Aliana mengutarakan isi hatinya pada Azaa, dengan pertimbangan
yang matang Aliana pun mengawali dengan pertanyaan tersebut.
“Belum tahu Lin, sekarang aku masih disini karena taqdir telah
membawaku kesini sampai saat ini, jika suatu saat nanti ku temukan taqdirku
untuk tetap disini Insyaallah aku akan menjalani taqdir itu untuk tetap disini
namun ketika taqdir berkata lain, membawaku pergi dari tempat ini tentunya aku
tak disini, aku berada dimana taqdir itu akan membawaku pergi”. Jelas Azaa
Aliana menghela nafas panjang, harapan jawaban iya atau tidak yang
singkat dan penuh dengan keseriuasan berubah menjadi jawaban yang membuat
Aliana ingin bertanya lagi, namun keinginan itu langsung dipendam dahulu untuk
saat ini, Aliana akan mencari tahu sendiri maksud untaian kata yang terlontar
dari bibir manis Azaa.
***
“Teeeet... …Teeeet….Teeeet…” Bunyi bel sebagai tanda bahwa jamaah
maghrib akan segera dilaksanakan dan adzan akan dikumandangkan oleh muadzin
dari santri putra yang mendapat jadwal. Kamar mandi dan kolam wudhu putri penuh
dengan santri putrid. Mereka saling
berebut untuk mengambil air wudhu. Kewajiban melaksanakan sholat jamaah maghrib
dan tepat waktu sudah berjalan semenjak awal “An Najah” berdiri sebelum Azaa
dan Aliana menjadi bagian darinya.
Lima menit kemudian, terdengar ajakan sholat dengan suara yang
merdu dan indah untuk didengar. Lantunan
adzan dan puji-pujian menggetarkan jiwa para santri. Mendorong hati santri
segera duduk i’tikaf meresapi makna puji-pujian dan menunggu Abah Yai.
“Pasti Muadzinnya
Kang Rizki” celetuk Aliana saat mengantri kamar mandi.
“Bukannya Kang Rizki lagi ziarah ke
Wali Songo Lin, pulangnya kan minggu depan”
“Oh Iya yach,,,
aku lupa, lalu siapa ya? Aku jadi penasaran, suaranya sebelas dua belas dengan
Kang Rizki, heeeee….”
“Mungkin santri
baru, kan Allah Maha Adil, jadi bukan Kang Rizki saja yang indah suaranya,
setiap insan punya kelebihan, bukan begitu?”
“Hmmm…Njih Ustadzah..”
“Kamu masih
lama ndak Lin? Aku duluan ya? Mau maem dulu sebelum ke Masjid”
“Iya lumayan,
Azaa duluan adjah, nanti Aku nyusul”
***
Sebelum pengajian dimulai, seluruh santri sudah wajib berkumpul di
Majlis Ta’lim Ar Roudhoh. Ruangan tersebut terasa sunyi, sepi dan meneduhkan
hati, hanya detakan jarum jam yang terdengar, semuanya duduk tawadhu’ menunggu Abah
Yai membuka pengajian. Abah Yai Membaca kitab dengan makna jawa.
Semua santri sibuk menggoreskan tintanya diatas lembaran kertas kuning yang
tebal. Sebelum memeberikan penjelasan fasal yang dibaca hari ini, terlebih
dahulu Abah Yai menunjuk salah satu santri untuk membaca fasal-fasal yang
telah dibaca sebelumnya.
Siapa saja yang terkena tunjukan Abah Yai wajib membacanya
sendiri tanpa bantuan santri lain, jika ketahuan ada yang membantu maka
keduanya diperkenankan untuk belajar di luar majlis ta’lim. Hal ini dimaksudkan
agar santri serius dalam mengikuti pengajian, sehingga harus ada Mutholaah
setelah mengaji agar saat mendapat kepercayaan dari Abah Yai untuk
membaca ulang tidak macet di jalan. Keikhlasan dan kejujuran harus selalu
mengiringi kegiatan santri baik saat pengajian maupun di saat kegiatan lain.
“Bisoo Nanging Ojo Rumongso Biso, Orip iku Pilihan, yen wes milih,
atine kudu mantep” ngendikane Abah Yai
sebelum pengajian ditutup. Azaa kaget mendengarnya. Satu setengah tahun yang
lalu hal itu pernah dilakukan Azaa, Ada perasaan selalu merasa bisa karena Dia
beranggapan ketika Dia sudah merasa bisa maka bisa tersebut akan benar-bener
terwujud, begitu sebaliknya jika awalnya Dia merasa tidak bisa maka itu
benar-benar terjadi. Dia yang memilih untuk tinggal bersama dengan orang yang
menyukai ilmu maka Dia akan merasa bersalah dengan pilihannya ketika berkata
aku tidak betah, aku ingin kembali pulang. Setelah satu bulan tinggal bersama
mereka, dalam hatinya Dia ingin memberontak pilihannya namun tidak bisa karena
itu sudah menjadi pilihan yang harus dipertanggungjawabkan.
Hatinya yang memberontak dinetralisir dengan cinta, cinta
kepada Sang Maha Cinta, cinta sesama
ciptaan Allah, cinta Ilmu dan cinta keindahan. Hidupnya yang penuh cinta
membuahkan sebuah keihlasan untuk pengabdian panjang. Pemahaman tentang cinta
ia dapatkan dari sahabatnya sendiri yang saat ini sedang berkelana ke makam
para Wali Allah, Kang Huda selalu mengingatkan Azaa akan cinta, cinta harus
selalu hadir dalam hati yang suci.
“Cintai Apa yang sudah kau
pilih, lakukan pilihanmu, hiasi pilihanmu dengan keikhlasan dan terakhir
kembalikan pilihanmu pada Allah, ibarat sebuah film, manusia sebagai pemain hanya
bisa berencana, Allah selaku sutradara memiliki rencana indah yang akan
diberikan pada makhluk_Nya termasuk dirimu Adikku, bersyukurlah atas
segala ni’mat Allah yang telah kau
terima”
Pesan Kang Huda satu tahun yang lalu sebelum meninggalkan Azaa,
kekuatan cinta, Keikhlasan dan rasa Syukur bagai pondasi kehidupan Azaa saat
ini. Rindu pada Kang Huda mulai terbesit di hatinya. Seakan Allah telah memutar
kembali kenangan bersam Kang Huda di awal perjumpaan dan perjuangan.
“Astaghfirullahaladziim….”
Ucap Azaa, seakan telah berbuat kesalahan besar. Azaa kembali
memusatkan pikiran dengan penjelasan Abah, rasa syukur berulang kali Ia ucapkan
karena hanya Allah yang tahu kalau pikiran Azaa telah bernostalgia dan rindu
dengan Kang Huda. Santri lain begitu ta’dzim dengan Abah sebagai wahilah
menyampaikan ilmu Allah.
***
Sepulang ziarah wali songo, seorang santri memberikan Azaa
sebuah kalung tasbih yang telah dibeli di Lamongan bersama kawan-kawannya. Azaa
merima kalung tasbih tersebut tanpa banyak bertanya. Saling memberi oleh-oleh
setelah bepergian sudah menjadi tradisi dalam persahabatan kami.
“Zaa, Kalung tasbihnya sudah kau terima”. Tanya Aliana sebelum
iqomah.
“ Ini” menyodorkan kalung tasbih yang aku pegang.
“Cie..Cie…yang tasbihnya baru”
Azaa tak menghiraukan perkataan Aliana, karena memang tak ada yang
perlu dihiraukan, yang punya tasbih baru kan bukan aku saja, Aliana kan juga
punya. Azaa mempersiapkan diri di tempat imam, hari ini jadwalku menjadi imam
sholat Ashar. Azaa memantapkan hati untuk menghadap Allah.
***
Malam ini tak berhadapan lagi dengan lembaran kuning, tangan tak
sibuk menggoreskan pena, lisan tak harus dikunci demi telinga yang harus
benar-benar mendengar suara Abah, namun hati tetap mengint_Nya dimana pun dan
kapan pun, Abah tindakan ke Semarang karena Ibu Mertua Abah sedang gerah, pagi
tadi sebelum dhuha, Abah, Umi dan Gus Zaki beserta istri dan putra-putrinya
meninggalkan lingkungan pesantren.
Azza membaca ayat-ayat Allah setelah jamaah Isya, beberapa santri
ada yang diskusi, mengerjakan tugas dan ada pula yang langsung berlayar di
pulau pandan karena mata ingin segera terkejap sejenak sebelum sepertiga malam.
Azaa menutup Al qurannya, ingin memejamkan mata namun mata sulit sekali
terpejam, perkataan Aliana sebelum menghadap_Nya menari-nari dalam pikirannya.
Diambilnya sebuah novel islami.
“Zaa, masih ingatkah pertanyaanku yang pernah aku berikan pada mu
saat menyetrika pakaian di kamar Chotijah lantai 1 dulu?”
“Maaf Pertanyaan apa Lin?” sambil membenarkan posisi duduknya.
Dalam Islam seorang haruslah memandang lawan bicaranya, karena
didalamnya ada nilai- nilai penghormatan terhadap orang yang mengajak bicara.
Namun jika dengan lawan jenis harus menjaga pandangan karena takut ada syahwat
yang muncul jika saling berpandangan dengan waktu yang lumayan lama.
“Akankah kau tetap disini setalah diwisuda nanti Zaa?”
“Mungkin Iya, dan mungkin juga tidak, heee” menutup novelnya.
“kok tertawa Zaa? Pertanyaanku salah?”
“Maaf Lina, aku tak bisa menjawabnya sekarang, keberadaan kita
disini adalah sebuah taqdir, Jika memang taqdirku nanti tak disini berarti aku
tak berada disini, fahim? Ada apa Lin kok masih bertanya tentang itu ?
takut ditinggal Aku? Heee…”
“Bisa jadi… Bisa jadi… heeee”
“Tak usah khawatir Lin, Allah punya rencana yang lebih indah, berdoa
saja semoga teridhoi dan senuanya akan indah pada waktunya”
“Lin, Kamu merasa ada yang berubah dengan diri Kang Rizki nggak?”
balik Tanya pada Aliana.
“Emmm..emmm..diam-diam kamu perhatian sama Kang Rizki ya? Sejak
kapan? Sejak terima kalung tasbih itu ya? Heee..hee” goda Aliana.
“Jangan salah Lin, aku kan yang paling perhatian dengan yang ada
disini, jadi ingat bukan Kang Rizki saja yang mendapat perhatian dariku, semua
yang ada disini yang pernah aku kenal pasti mendapat perhatian khusus dari Azaa”.
“Ndak tahu loh. Kan Aku jarang memperhatian Kang Rizki, Aku rasa
kamu lebih paham tentang Dia” jelas Aliana.
Cahaya terang produk manusia mulai redup, satu persatu cahaya yang
tergantung telah padam, jam sunyi menghampiri diri yang merindu. Kerinduan
tertanam di hati penghuni tempat ini, jauh dari keluarga menumbuhkan rindu yang
sangat, suara keluarga di seberang sana melalu pesawat telefon sedikit
mengobati rindu. Kini Azaa merindu dengan dia yang jauh disana. Dia yang sempat
mengenalkan Azaa dengan cinta dan rindu.
Azaa mulai berpikir akankah ada penggantinya suatu saat nanti? Apakah
dia yang akan menggantikannya? Ataukah ada yang lebih Engkau ridhoi untuk
mimiliki diriku dan mengjakku menghadap_Mu dan tinggal di surga_Mu.
“Ku lantunkan Doa untuk keluargaku, saudaraku keturunan dari Nabi
Adam penghuni surga pertama yang diciptakan oleh Allah Swt sebelum mata ini
terpejam menjemput petunjuk_Mu lewat bunga tidur”.
***
Di bawah langit yang berbintang, Rizki duduk terdiam, mencoba
menghitung bintang yang memagari langit. Hawa dingin mulai masuk ke tulang
rusuknya, suara jangkrik di sudut kamar mandi saling bersahut-sahutan. Tasbih
di tangannya tetap berputar meski bola matanya sibuk menghitung pantulan cahaya
merah..
Satu minggu terakhir sepulang dari Ziarah, Rizki terlihat banyak
diam. Candaan yang biasa terlontar di balik bibirnya yang manis seakan
menghilang di telan bumi. di wajahnya terlukis kebingungan.
“Nanda, aku ingin pulang?”
“Apa? Pulang? Tak salah apa yang ku dengar Riz?”
“Kagak, Aku benar-benar ingin pulang, setelah ziarah
beberapa hari yang lalu, aku merasa terpanggil untuk pulang, Kau masih ingat
yang dulu aku ceritakan ke Kamu kan?”
“hmmm..InsyaAllah Aku masih mengingatnya, namun maaf Riz sampai
saat ini aku belum bisa memberikan solusi yang memberi kemaslahatan untuk Kita
semua, Bagaimana kalau sebelum Kamu menentukan pilihan untuk pulang, Kita minta
pertimbangan pada Ustadz Ali, bagaimana menurutmu?
“Aku dulu juga udah berpikir untuk melakukan itu, tapi aku takut
Kang, aku belum siap,”
“Semangat Kawan, InsyaAllah ada jalan, bukankah Allah juga telah
berfirman kalau setelah kesulitan pasti ada kemudahan, semua keputusan ada di
Kamu, Aku pun tak akan memaksamu, Aku yakin Kamu lebih tahu apa yang harus
dilakukan, jangan lupa memohon petunjuk pada Yang Maha Agung..”
“Thanks Kang, mohon doanya ya Kang,”.
Sedikit penerangan telah didapat, hanya saja butuh keyakinan untuk
mengutarakannya pada Ustadz Ali. Rizki membasahi wajahnya dengan tetesan air
wudhu. Diambilnya sejadah merah kenang-kenangan dari Kang Huda. Ini adalah
pertama kalinya Rizki menggunakan sejadah itu. Dua raka’at telah ditegakkan
dengan khusyuk yang teramat kemudian menceritakan semua pada Allah yang Maha
Segalanya dan memohon petunjuk pada_Nya sebelum meninggalkan rumah Allah. Ketenangan
mulai menghampiri hati Rizki, segores senyum menghiasi bibir manisnya.
***
Senja di penghujung hari menutup kewajiban siang, malam pun datang
menjalankan kewajibannya. Siang dan malam tak pernah mengeluh, mereka tak
pernah bertemu dalam satu waktu namun saling melengkapi, siang telah standbay
sejak matahari terbit, sembari menunggu malam sebelum senja datang dia
menjadi saksi bisu, Namun disaat senja datang dia langsung meninggalkannya.
Tuhan telah mengatur semuanya.
“Azaa, ditimbali Umi, nanti setelah jamaah Isya’ ditunggu di
nDalem”
Setelah Jamaah
Isya, Azaa langsung mengembalikan muknahnya, Dia langsung menuju nDalemnya
Abah Yai . Azaa kaget di saat Umi membukakan pintu dan mempersilahkan
masuk, tubuhnya gemetar tak karuan, dilihatnya Kang Huda yang akhir-akhir ini
dirindukanya, dan juga ada Kang Rizki yang terkagumi Azaa karena suaranya yang
indah namun wajahnya sering kali muncul dalam mimpi-mimpinya. Mereka berdua
duduk tawadhu’ di hadapan Abah. Kang Nanda sahabat Kang Rizki juga berada disana.
Azaa berusaha untuk tetap menjaga keta’dzimannya. Dia hanya diam mengikuti
mendengarkan petuah Abah Yai.
“Maafin Kang Huda
ya Zaa?” ucap Kang Huda setelah Abah memeberikan kesempatan untuk berbicara.
“Di awal
perjumpaan kita tiga tahun yang lalu, aku telah menguatkanmu dengan cinta, aku
berharap kita bisa membangun sekolah, masjid dan taman setelah akad nikah
mengikat kita berdua, aku tak pernah mengungkapkan perasaanku padamu, aku hanya
memperhatikanmu dari balik layar yang jauh disana, maafkan aku Zaa, aku baru
berterus terang hari ini.”
Azaa bingung, rasa
bahagia dan sedih bercampur menjadi satu, tiba-tiba langit menjadi hitam,
suasana hening, Azaa tetap mengunci mulitnya, dia tak berkata apa-apa. Abah Yai
melanjutkan perkataan Kang Huda, Abah Yai telah menjelaskan semuanya, maksud
memanggil Azaa untuk segera ke nDalem. Butuh waktu untuk menentukan
pilihan, ini terlalu cepat bagi Azaa. Rasanya baru kemarin Azaa memikirkan hal
ini, ternyata Allah telah menjawab_Nya dengan teka-teki yang harus dicari
jawabannya. Azaa pamit untuk kembali ke kamar. Abah mengiyakan dan memberikan
saran agar Azaa memohon petunjuk kepada Allah. Abah belum bisa memberikan
keputusan.
***
“Zaa, berdoalah
pada Yang Maha Cinta, Kang Nanda telah menceritakan semuanya padaku, jemputlah
taqdirmu” ucap Aliana menguatkan Azaa yang terlihat kehilangat semangat dan
cintanya.
“Terima Kasih Lin,
semoga Allah segera memberi petunjuk pada hamba yang masih berlumur dosa, aku
sholat dulu ya Lin,”
“Iya, semangat
Cinta, Allah sudah merencanakan semuanya rencana Allah lebih indah, bukankah
itu yang sering kau ucapkan pada ku?”
Keesokan harinya,
Azaa kesedihan kembali menyelimuti hati Azaa yang penuh dengan teka teki, Azaa
belum bisa menentukan pilihan, pikiran-pikiran itu sirna setelah membaca
sepucuk surat dari keluarganya di rumah. Satu minggu yang lalu Ayah dan Ibu
Azaa mengalami kecelakaan, sengaja Keluarga di rumah tidak langsung mengabari
Azaa, karena takut Azaa akan Shock mendengarnya, Pakdhe berencana
mengabarkan pada Azaa setelah keadaan ayah dan ibu Azaa membaik, namun Allah
belum menjawabnya, sudah seminggu Ayah dan Ibunya belum sadarkan diri. Azaa
harus segera pulang.
Azaa mencoba untuk tetap kuat, Azaa yang penuh cinta harus ceria
lagi, Azaa tak ingin semua yang dikenalnya ikut bersedih hati. Doa saudaranya
di An Najah selalu mengiringi langkah Azaa. Pagi itu di waktu dhuha Azaa
melangkahkan kaki untuk meninggalkan pesantren, berat rasanya kaki ini
melangkah namun hati sangat menangis, ingin segera memeluk dan merawat ayah danIbu,
***
Setelah hampir
satu bulan meninggalkan pesantren, Azaa menyibukkan diri di rumah, merawat Ayah
dan Ibu. Azaa anak semata wayang dalam keluarga, Azaa harus kuat menjalani
semua ini. Alhamdulillah di bulan yang ke dua Ayah dan Ibu mulai membaik, sudah
bisa sedikit berkata-kata. Senang sekali rasanya. Beribu-ribu syukur terucap
dari bibirnya, sujud syukur kepada Allah atas ijabah doa-doanya.
Tanpa diduga Kang
Rizki, Kang Nanda dan Aliana datang ke gubuk milik ayah dan Ibu Azaa, senang
sekali hati Azaa bisa bertemu dengan keluarganya di An Najah yang sekarang
sudah sibuk dengan sekripsinya, mereka akan wisuda tahun depan, Azaa ikut
bahagia. Azaa ingin seperti mereka membahagiakan orang tua, karena permintaan
orang tua Azaa harus terus mencari ilmu, namun Azaa mencoba menenangkan
hatinya, Azaa, ingat, kata ustadz Ali, mencari ilmu itu tidak harus di bangku
kuliah, kuliah merupakan salah satu jalan mencari ilmu.
Embun pagi
membasahi bunga-bunga yang memagari rumah Azaa, Kang Rizki dan keluarganya
datang kerumah Azza, Azaa bingung dengan kedatangan mereka. Dulu ayah Rizki dan
ayah Rizki ada sahabat sejati di
pesantren. Dan mereka berencana untuk menjodohkan Rizki dan Azaa. Namun rencana
itu dianggap gagal karena keluarga Rizki pindah ke luar kota, dan selama lima
tahun tak pernah bertemu dan berkomunikasi lagi, syukur Alhamdulillah
dipertemukan di Pesantren An Najah. Rencana Allah lebih indah, semuanya indah
pada waktunya. Pada hari itu juga Kang Rizki melamar Azaa.
Azaa menjemput
taqdirnya, kembali ke kampung halaman, membangun masjid, taman dan madrasah
dengan imamnya, Kang Rizki Aditya. Kebahagiaan menghiasi rumah tangga mereka.