Pendidikan sebagai media menjadi Insan Kamil

Kamis, 29 Oktober 2015

MAKALAH



MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa  dalam kehidupan sehari-hari sehingga bisa mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan pengtahuan tersebut dalam kehidupan siswa sehari-hari.
1.        Ontologi
            Filosofi pembelajaran kontekstual adalah konstruktivistik, yang berarti bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Namun manusia harus membangun pengetahuan melalui pengalaman yang nyata. pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru ke siswa. Siswa tidak hanya ”menerima” pengetahuan, namun”mengkonstruksi” sendiri pengetahuannya melalui proses intra-individual(asimilasi dan akomodasi) dan inter-individual (interaksi sosial).

2.        Aksiologi
            Tujuan pembelajaran kontekstual adalah Untuk membantu peserta didik memahami materi pelajaran yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pokok materi pelajaran dengan mengembangkan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

3.        Epistemologi
     Materi yang akan diberikan pada siswa tidak bersifat tekstual namun, dalam pemberian materi harus mengaitkan dengan dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari dan melibatkan tujuh komponen utama dalam pembelajaran. Karena manusia mempunyai kemampuan yang berbeda-beda sehingga antara materi dan dinia nyata harus terkait satu sama lain.

Tujuh komponen Pembelajaran Kontekstual

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
pemodelan (modeling)
masyaraka
belajar (learning community),
refleksi  (reflection)
bertanya (questioning)
kontruktivisme
(constructivism)
penilaian autentik (authentic) assessment).
menyelidiki       (inquiry)
    













            Dari konsep tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa manusia itu unik dan berbeda beda antara yang satu dan yang lainnya. Namun semua manusia diberi bekal  berupa akal dan pikiran, serta mempunyai kemampuan untuk menjadi makhluk yang paling sempurna diantara makhluk yang lain dan untuk mewujudkan hal itu tergantung dari individu masing-masing. Pendidikan adalah salah satu cara untuk mengembangkan potensi yang telah ada. Sehingga proses untuk mencapai tuuan pendidikan itu disesuaikan dengan kondosisi peserta didik.




                Manusia adalah makhluk ciaptaaan Tuhan yang mempunyai unsur jasmani.  Al Syaibani berpendapat bahwa manusia  terdiri atas tiga unsur yang mempunyai kepentingan yang sama.  Unsur tersebut seperti sisi-sisi segitiga yang membentuk segitiga. Jadi hakikat manusia adalah jasmani, akal dan Ruhani.
 

            Akal                                        Ruhani




                                    Jasmani
            Jika melihat hakikat manusia yang seperti dikemukakan diatas maka pendidikan harus bisa mebina ketiga unsur tersebut secara proporsional.
            Filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya serta pemikiran tersebut mengandung keuniversalan yang tidak bisa berubah. psikologi merupakan bagian dari filsafat. Keduanya mempunyai obyek yang sama yaitu manusia namun dalam mengkaji manusia mempunyai perbedaan metode. Psokologi juga mempelajari hakikat hidup dan gerak-gerik kehidupan.
            Dalam dunia pendidikan keduanya saling terkait. Seperti yang dijelaskan diawal bahwa akal adalah unsur pembentuk manusia, hasil dari kerja akal yang telah mencari dan memikirkan suatu kebenaran secara mendalam itulah yang dinamakan filsafat. Filsafat itu sendiri berawal dari sebuah pengalaman manusia, pengalaman tersebut dibantu oleh indra yang dimiliki manusia kemudian mengahasilkan pengetahuan.
            Filsafat mempertanyakan /  memunculkan pertanyaan pada sesuatau kemudian psikologi menjawabnya. Manusia adalah makhluk yang unik dan berubah ubah, namun pada hakikatnya manusia itulah hakikatnya.

SeMESTER 4

CERPEN



Dia, Imamku Menjemputku

Tetesan embun membasahi rerumputan yang menguning, secercah cahaya merah sembunyi di balik semak, kicau merpati mengajak insan menghamba di waktu dhuha. Gadis berhijab pink memunguti dedaunan kuning yang telah gugur meninggalkan tangkai pohon. Sebut saja namanya Azaa. Hampir satu tahun Azaa mengawali aktifitas pagi dengan kegiatan cinta kebersihan, keindahan dan kerapian. liku-liku kehidupannya penuh cita dan cinta. Impiannya didasari cinta murni pada Sang pemilik jiwa dan raga.
Azaa tak berhenti bergerak jika sekitarnya belum terlihat indah, Azaa punya parameter tersendiri untuk bisa mengatakan ini indah. Kecintaannya dengan keindahan mengharumkan dirinya di dunia tempat tinggalnya. Azaa gadis yang tak suka menggunakan lisannya untuk berkata yang tak mengandung manfaat memilih diam disaat banyak desas-desus yang masih belum Idhar kebenarannya.
“Azaa, apakah kamu akan tetep disini setelah kau mengenakan toga nantinya?” suara Aliana menghentikan tangannya yang sedang menyetrika pakaian. Ingin rasanya Aliana mengutarakan isi hatinya pada Azaa, dengan pertimbangan yang matang Aliana pun mengawali dengan pertanyaan tersebut.
“Belum tahu Lin, sekarang aku masih disini karena taqdir telah membawaku kesini sampai saat ini, jika suatu saat nanti ku temukan taqdirku untuk tetap disini Insyaallah aku akan menjalani taqdir itu untuk tetap disini namun ketika taqdir berkata lain, membawaku pergi dari tempat ini tentunya aku tak disini, aku berada dimana taqdir itu akan membawaku pergi”. Jelas Azaa
Aliana menghela nafas panjang, harapan jawaban iya atau tidak yang singkat dan penuh dengan keseriuasan berubah menjadi jawaban yang membuat Aliana ingin bertanya lagi, namun keinginan itu langsung dipendam dahulu untuk saat ini, Aliana akan mencari tahu sendiri maksud untaian kata yang terlontar dari bibir manis Azaa.
***
“Teeeet... …Teeeet….Teeeet…” Bunyi bel sebagai tanda bahwa jamaah maghrib akan segera dilaksanakan dan adzan akan dikumandangkan oleh muadzin dari santri putra yang mendapat jadwal. Kamar mandi dan kolam wudhu putri penuh dengan santri putrid. Mereka  saling berebut untuk mengambil air wudhu. Kewajiban melaksanakan sholat jamaah maghrib dan tepat waktu sudah berjalan semenjak awal “An Najah” berdiri sebelum Azaa dan Aliana menjadi bagian darinya.
Lima menit kemudian, terdengar ajakan sholat dengan suara yang merdu  dan indah untuk didengar. Lantunan adzan dan puji-pujian menggetarkan jiwa para santri. Mendorong hati santri segera duduk i’tikaf meresapi makna puji-pujian dan menunggu Abah Yai[1].
“Pasti Muadzinnya[2] Kang Rizki” celetuk Aliana saat mengantri kamar mandi.
“Bukannya Kang Rizki lagi ziarah[3] ke Wali Songo Lin, pulangnya kan minggu depan”
“Oh Iya yach,,, aku lupa, lalu siapa ya? Aku jadi penasaran, suaranya sebelas dua belas dengan Kang Rizki, heeeee….”
“Mungkin santri baru, kan Allah Maha Adil, jadi bukan Kang Rizki saja yang indah suaranya, setiap insan punya kelebihan, bukan begitu?”
“Hmmm…Njih Ustadzah..”
“Kamu masih lama ndak Lin? Aku duluan ya? Mau maem dulu sebelum ke Masjid”
“Iya lumayan, Azaa duluan adjah, nanti Aku nyusul”
***
Sebelum pengajian dimulai, seluruh santri sudah wajib berkumpul di Majlis Ta’lim Ar Roudhoh. Ruangan tersebut terasa sunyi, sepi dan meneduhkan hati, hanya detakan jarum jam yang terdengar, semuanya duduk tawadhu’ menunggu Abah Yai membuka pengajian. Abah Yai Membaca kitab dengan makna jawa. Semua santri sibuk menggoreskan tintanya diatas lembaran kertas kuning yang tebal. Sebelum memeberikan penjelasan fasal yang dibaca hari ini, terlebih dahulu Abah Yai menunjuk salah satu santri untuk membaca fasal-fasal yang telah dibaca sebelumnya.
Siapa saja yang terkena tunjukan Abah Yai wajib membacanya sendiri tanpa bantuan santri lain, jika ketahuan ada yang membantu maka keduanya diperkenankan untuk belajar di luar majlis ta’lim. Hal ini dimaksudkan agar santri serius dalam mengikuti pengajian, sehingga harus ada Mutholaah[4] setelah mengaji agar saat mendapat kepercayaan dari Abah Yai untuk membaca ulang tidak macet di jalan. Keikhlasan dan kejujuran harus selalu mengiringi kegiatan santri baik saat pengajian maupun di saat kegiatan lain.
“Bisoo Nanging Ojo Rumongso Biso, Orip iku Pilihan, yen wes milih, atine kudu mantep” ngendikane Abah Yai sebelum pengajian ditutup. Azaa kaget mendengarnya. Satu setengah tahun yang lalu hal itu pernah dilakukan Azaa, Ada perasaan selalu merasa bisa karena Dia beranggapan ketika Dia sudah merasa bisa maka bisa tersebut akan benar-bener terwujud, begitu sebaliknya jika awalnya Dia merasa tidak bisa maka itu benar-benar terjadi. Dia yang memilih untuk tinggal bersama dengan orang yang menyukai ilmu maka Dia akan merasa bersalah dengan pilihannya ketika berkata aku tidak betah, aku ingin kembali pulang. Setelah satu bulan tinggal bersama mereka, dalam hatinya Dia ingin memberontak pilihannya namun tidak bisa karena itu sudah menjadi pilihan yang harus dipertanggungjawabkan.
Hatinya yang memberontak dinetralisir dengan cinta, cinta kepada  Sang Maha Cinta, cinta sesama ciptaan Allah, cinta Ilmu dan cinta keindahan. Hidupnya yang penuh cinta membuahkan sebuah keihlasan untuk pengabdian panjang. Pemahaman tentang cinta ia dapatkan dari sahabatnya sendiri yang saat ini sedang berkelana ke makam para Wali Allah, Kang Huda selalu mengingatkan Azaa akan cinta, cinta harus selalu hadir dalam hati yang suci.
 “Cintai Apa yang sudah kau pilih, lakukan pilihanmu, hiasi pilihanmu dengan keikhlasan dan terakhir kembalikan pilihanmu pada Allah, ibarat sebuah film, manusia sebagai pemain hanya bisa berencana, Allah selaku sutradara memiliki rencana indah yang akan diberikan pada makhluk_Nya termasuk dirimu Adikku, bersyukurlah atas segala  ni’mat Allah yang telah kau terima”
Pesan Kang Huda satu tahun yang lalu sebelum meninggalkan Azaa, kekuatan cinta, Keikhlasan dan rasa Syukur bagai pondasi kehidupan Azaa saat ini. Rindu pada Kang Huda mulai terbesit di hatinya. Seakan Allah telah memutar kembali kenangan bersam Kang Huda di awal perjumpaan dan perjuangan.
“Astaghfirullahaladziim….”
Ucap Azaa, seakan telah berbuat kesalahan besar. Azaa kembali memusatkan pikiran dengan penjelasan Abah, rasa syukur berulang kali Ia ucapkan karena hanya Allah yang tahu kalau pikiran Azaa telah bernostalgia dan rindu dengan Kang Huda. Santri lain begitu ta’dzim dengan Abah sebagai wahilah menyampaikan ilmu Allah.
***
Sepulang ziarah wali songo, seorang santri memberikan Azaa sebuah kalung tasbih yang telah dibeli di Lamongan bersama kawan-kawannya. Azaa merima kalung tasbih tersebut tanpa banyak bertanya. Saling memberi oleh-oleh setelah bepergian sudah menjadi tradisi dalam persahabatan kami.
“Zaa, Kalung tasbihnya sudah kau terima”. Tanya Aliana sebelum iqomah.
“ Ini” menyodorkan kalung tasbih yang aku pegang.
“Cie..Cie…yang tasbihnya baru”
Azaa tak menghiraukan perkataan Aliana, karena memang tak ada yang perlu dihiraukan, yang punya tasbih baru kan bukan aku saja, Aliana kan juga punya. Azaa mempersiapkan diri di tempat imam, hari ini jadwalku menjadi imam sholat Ashar. Azaa memantapkan hati untuk menghadap Allah.
***
Malam ini tak berhadapan lagi dengan lembaran kuning, tangan tak sibuk menggoreskan pena, lisan tak harus dikunci demi telinga yang harus benar-benar mendengar suara Abah, namun hati tetap mengint_Nya dimana pun dan kapan pun, Abah tindakan ke Semarang karena Ibu Mertua Abah sedang gerah, pagi tadi sebelum dhuha, Abah, Umi dan Gus Zaki beserta istri dan putra-putrinya meninggalkan lingkungan pesantren.
Azza membaca ayat-ayat Allah setelah jamaah Isya, beberapa santri ada yang diskusi, mengerjakan tugas dan ada pula yang langsung berlayar di pulau pandan karena mata ingin segera terkejap sejenak sebelum sepertiga malam. Azaa menutup Al qurannya, ingin memejamkan mata namun mata sulit sekali terpejam, perkataan Aliana sebelum menghadap_Nya menari-nari dalam pikirannya. Diambilnya sebuah novel islami.
“Zaa, masih ingatkah pertanyaanku yang pernah aku berikan pada mu saat menyetrika pakaian di kamar Chotijah lantai 1 dulu?”
“Maaf Pertanyaan apa Lin?” sambil membenarkan posisi duduknya.
Dalam Islam seorang haruslah memandang lawan bicaranya, karena didalamnya ada nilai- nilai penghormatan terhadap orang yang mengajak bicara. Namun jika dengan lawan jenis harus menjaga pandangan karena takut ada syahwat yang muncul jika saling berpandangan dengan waktu yang lumayan lama.
“Akankah kau tetap disini setalah diwisuda nanti Zaa?”
“Mungkin Iya, dan mungkin juga tidak, heee” menutup novelnya.
“kok tertawa Zaa? Pertanyaanku salah?”
“Maaf Lina, aku tak bisa menjawabnya sekarang, keberadaan kita disini adalah sebuah taqdir, Jika memang taqdirku nanti tak disini berarti aku tak berada disini, fahim? Ada apa Lin kok masih bertanya tentang itu ? takut ditinggal Aku? Heee…”
“Bisa jadi… Bisa jadi… heeee”
“Tak usah khawatir Lin, Allah punya rencana yang lebih indah, berdoa saja semoga teridhoi dan senuanya akan indah pada waktunya”
“Lin, Kamu merasa ada yang berubah dengan diri Kang Rizki nggak?” balik Tanya pada Aliana.
“Emmm..emmm..diam-diam kamu perhatian sama Kang Rizki ya? Sejak kapan? Sejak terima kalung tasbih itu ya? Heee..hee” goda Aliana.
“Jangan salah Lin, aku kan yang paling perhatian dengan yang ada disini, jadi ingat bukan Kang Rizki saja yang mendapat perhatian dariku, semua yang ada disini yang pernah aku kenal pasti mendapat perhatian khusus dari Azaa”.
“Ndak tahu loh. Kan Aku jarang memperhatian Kang Rizki, Aku rasa kamu lebih paham tentang Dia” jelas Aliana.
Cahaya terang produk manusia mulai redup, satu persatu cahaya yang tergantung telah padam, jam sunyi menghampiri diri yang merindu. Kerinduan tertanam di hati penghuni tempat ini, jauh dari keluarga menumbuhkan rindu yang sangat, suara keluarga di seberang sana melalu pesawat telefon sedikit mengobati rindu. Kini Azaa merindu dengan dia yang jauh disana. Dia yang sempat mengenalkan Azaa dengan cinta dan rindu.
Azaa mulai berpikir akankah ada penggantinya suatu saat nanti? Apakah dia yang akan menggantikannya? Ataukah ada yang lebih Engkau ridhoi untuk mimiliki diriku dan mengjakku menghadap_Mu dan tinggal di surga_Mu.
“Ku lantunkan Doa untuk keluargaku, saudaraku keturunan dari Nabi Adam penghuni surga pertama yang diciptakan oleh Allah Swt sebelum mata ini terpejam menjemput petunjuk_Mu lewat bunga tidur”.
***
Di bawah langit yang berbintang, Rizki duduk terdiam, mencoba menghitung bintang yang memagari langit. Hawa dingin mulai masuk ke tulang rusuknya, suara jangkrik di sudut kamar mandi saling bersahut-sahutan. Tasbih di tangannya tetap berputar meski bola matanya sibuk menghitung pantulan cahaya merah..
Satu minggu terakhir sepulang dari Ziarah, Rizki terlihat banyak diam. Candaan yang biasa terlontar di balik bibirnya yang manis seakan menghilang di telan bumi. di wajahnya terlukis kebingungan.
“Nanda, aku ingin pulang?”
“Apa? Pulang? Tak salah apa yang ku dengar Riz?”
Kagak, Aku benar-benar ingin pulang, setelah ziarah beberapa hari yang lalu, aku merasa terpanggil untuk pulang, Kau masih ingat yang dulu aku ceritakan ke Kamu kan?”
“hmmm..InsyaAllah Aku masih mengingatnya, namun maaf Riz sampai saat ini aku belum bisa memberikan solusi yang memberi kemaslahatan untuk Kita semua, Bagaimana kalau sebelum Kamu menentukan pilihan untuk pulang, Kita minta pertimbangan pada Ustadz Ali, bagaimana menurutmu?
“Aku dulu juga udah berpikir untuk melakukan itu, tapi aku takut Kang, aku belum siap,”
“Semangat Kawan, InsyaAllah ada jalan, bukankah Allah juga telah berfirman kalau setelah kesulitan pasti ada kemudahan, semua keputusan ada di Kamu, Aku pun tak akan memaksamu, Aku yakin Kamu lebih tahu apa yang harus dilakukan, jangan lupa memohon petunjuk pada Yang Maha Agung..”
Thanks Kang, mohon doanya ya Kang,”.
Sedikit penerangan telah didapat, hanya saja butuh keyakinan untuk mengutarakannya pada Ustadz Ali. Rizki membasahi wajahnya dengan tetesan air wudhu. Diambilnya sejadah merah kenang-kenangan dari Kang Huda. Ini adalah pertama kalinya Rizki menggunakan sejadah itu. Dua raka’at telah ditegakkan dengan khusyuk yang teramat kemudian menceritakan semua pada Allah yang Maha Segalanya dan memohon petunjuk pada_Nya sebelum meninggalkan rumah Allah. Ketenangan mulai menghampiri hati Rizki, segores senyum menghiasi bibir manisnya.
***
Senja di penghujung hari menutup kewajiban siang, malam pun datang menjalankan kewajibannya. Siang dan malam tak pernah mengeluh, mereka tak pernah bertemu dalam satu waktu namun saling melengkapi, siang telah standbay sejak matahari terbit, sembari menunggu malam sebelum senja datang dia menjadi saksi bisu, Namun disaat senja datang dia langsung meninggalkannya. Tuhan telah mengatur semuanya.
“Azaa, ditimbali Umi, nanti setelah jamaah Isya’ ditunggu di nDalem[5]
            Setelah Jamaah Isya, Azaa langsung mengembalikan muknahnya, Dia langsung menuju nDalemnya Abah Yai . Azaa kaget di saat Umi membukakan pintu dan mempersilahkan masuk, tubuhnya gemetar tak karuan, dilihatnya Kang Huda yang akhir-akhir ini dirindukanya, dan juga ada Kang Rizki yang terkagumi Azaa karena suaranya yang indah namun wajahnya sering kali muncul dalam mimpi-mimpinya. Mereka berdua duduk tawadhu’ di hadapan Abah. Kang Nanda sahabat Kang Rizki juga berada disana. Azaa berusaha untuk tetap menjaga keta’dzimannya. Dia hanya diam mengikuti mendengarkan petuah Abah Yai.
            “Maafin Kang Huda ya Zaa?” ucap Kang Huda setelah Abah memeberikan kesempatan untuk berbicara.
            “Di awal perjumpaan kita tiga tahun yang lalu, aku telah menguatkanmu dengan cinta, aku berharap kita bisa membangun sekolah, masjid dan taman setelah akad nikah mengikat kita berdua, aku tak pernah mengungkapkan perasaanku padamu, aku hanya memperhatikanmu dari balik layar yang jauh disana, maafkan aku Zaa, aku baru berterus terang hari ini.”
            Azaa bingung, rasa bahagia dan sedih bercampur menjadi satu, tiba-tiba langit menjadi hitam, suasana hening, Azaa tetap mengunci mulitnya, dia tak berkata apa-apa. Abah Yai melanjutkan perkataan Kang Huda, Abah Yai telah menjelaskan semuanya, maksud memanggil Azaa untuk segera ke nDalem. Butuh waktu untuk menentukan pilihan, ini terlalu cepat bagi Azaa. Rasanya baru kemarin Azaa memikirkan hal ini, ternyata Allah telah menjawab_Nya dengan teka-teki yang harus dicari jawabannya. Azaa pamit untuk kembali ke kamar. Abah mengiyakan dan memberikan saran agar Azaa memohon petunjuk kepada Allah. Abah belum bisa memberikan keputusan.
***
            “Zaa, berdoalah pada Yang Maha Cinta, Kang Nanda telah menceritakan semuanya padaku, jemputlah taqdirmu” ucap Aliana menguatkan Azaa yang terlihat kehilangat semangat dan cintanya.
            “Terima Kasih Lin, semoga Allah segera memberi petunjuk pada hamba yang masih berlumur dosa, aku sholat dulu ya Lin,”
            “Iya, semangat Cinta, Allah sudah merencanakan semuanya rencana Allah lebih indah, bukankah itu yang sering kau ucapkan pada ku?”
            Keesokan harinya, Azaa kesedihan kembali menyelimuti hati Azaa yang penuh dengan teka teki, Azaa belum bisa menentukan pilihan, pikiran-pikiran itu sirna setelah membaca sepucuk surat dari keluarganya di rumah. Satu minggu yang lalu Ayah dan Ibu Azaa mengalami kecelakaan, sengaja Keluarga di rumah tidak langsung mengabari Azaa, karena takut Azaa akan Shock mendengarnya, Pakdhe berencana mengabarkan pada Azaa setelah keadaan ayah dan ibu Azaa membaik, namun Allah belum menjawabnya, sudah seminggu Ayah dan Ibunya belum sadarkan diri. Azaa harus segera pulang.
Azaa mencoba untuk tetap kuat, Azaa yang penuh cinta harus ceria lagi, Azaa tak ingin semua yang dikenalnya ikut bersedih hati. Doa saudaranya di An Najah selalu mengiringi langkah Azaa. Pagi itu di waktu dhuha Azaa melangkahkan kaki untuk meninggalkan pesantren, berat rasanya kaki ini melangkah namun hati sangat menangis, ingin segera memeluk dan merawat ayah danIbu,
***
            Setelah hampir satu bulan meninggalkan pesantren, Azaa menyibukkan diri di rumah, merawat Ayah dan Ibu. Azaa anak semata wayang dalam keluarga, Azaa harus kuat menjalani semua ini. Alhamdulillah di bulan yang ke dua Ayah dan Ibu mulai membaik, sudah bisa sedikit berkata-kata. Senang sekali rasanya. Beribu-ribu syukur terucap dari bibirnya, sujud syukur kepada Allah atas ijabah doa-doanya.
            Tanpa diduga Kang Rizki, Kang Nanda dan Aliana datang ke gubuk milik ayah dan Ibu Azaa, senang sekali hati Azaa bisa bertemu dengan keluarganya di An Najah yang sekarang sudah sibuk dengan sekripsinya, mereka akan wisuda tahun depan, Azaa ikut bahagia. Azaa ingin seperti mereka membahagiakan orang tua, karena permintaan orang tua Azaa harus terus mencari ilmu, namun Azaa mencoba menenangkan hatinya, Azaa, ingat, kata ustadz Ali, mencari ilmu itu tidak harus di bangku kuliah, kuliah merupakan salah satu jalan mencari ilmu.
            Embun pagi membasahi bunga-bunga yang memagari rumah Azaa, Kang Rizki dan keluarganya datang kerumah Azza, Azaa bingung dengan kedatangan mereka. Dulu ayah Rizki dan ayah  Rizki ada sahabat sejati di pesantren. Dan mereka berencana untuk menjodohkan Rizki dan Azaa. Namun rencana itu dianggap gagal karena keluarga Rizki pindah ke luar kota, dan selama lima tahun tak pernah bertemu dan berkomunikasi lagi, syukur Alhamdulillah dipertemukan di Pesantren An Najah. Rencana Allah lebih indah, semuanya indah pada waktunya. Pada hari itu juga Kang Rizki melamar Azaa.
            Azaa menjemput taqdirnya, kembali ke kampung halaman, membangun masjid, taman dan madrasah dengan imamnya, Kang Rizki Aditya. Kebahagiaan menghiasi rumah tangga mereka.


[1] Panggilan santri kepada pengasuh pesantren, hal tersebut sudah terjadi sejak zaman dahulu sampai sekarang.
[2] Muadzin: Orang yang adzan, mengajak ummat islam untuk melksanakan kewajiban.
[3] Ziarah adalah berkunjung ke makam para wali dengan tujuan untuk memohon pada Allah  dan mengirim doa untuk Para wali Allah, di Indonesia yang terkenal ada Sembilan wali yang sering disebut Wali Songo.
[4] Mengulang pelajara (Belajar kembali)
[5] Sebutan untuk rumah pengasuh pesantren.