Pendidikan sebagai media menjadi Insan Kamil

Sabtu, 02 Januari 2016

PENDIDIKAN INTEGRATIF – INTERKONEKTIF; KAJIAN FILSAFAT PENDIDIKAN (Upaya Menemukan Landasan Pendidikan Integratif)

PENDIDIKAN INTEGRATIF – INTERKONEKTIF; KAJIAN FILSAFAT PENDIDIKAN
(Upaya Menemukan Landasan Pendidikan Integratif)

(Anis Zulia A'limatun Nisa) 

1.      Pendahuluan
Perkembangan Sains pada dua abad yang sudah berlalu, lebih bersifat ateistik-materialistik, hal tersebut mengancam eksistensi agama. Metafisika yang betentangan dengan agama akan menyudutkan agama. Sehingga terjadi perdebatan sekaligus perjumpaan antara sains dan agama, para teolog dan ilmuan dari Barat menghasilkan gagasan “sains teistik” yaitu sains yang sensitive terhadap keyakinan dan ajaran agama. Sedangkan dalam konteks Kristen Kontemporer, Ian Barbour mendasarkan pendekatan integrasi “integrasi teologis” sebagai upaya mempertemukan sains dan agama dengan empat tipologi, yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi.  
Ilmu dan agama dua kata yang beriringan mendampingi kehidupan manusia. Namun terkadang masih ada sekat antara keduanya, seolah-olah keduanya berdiri sendiri, mempunyai wilayah sendiri baik dari segi obyek-formal-material, metode penelitian, kreteria kebenaran, keudanya seakan-akan tidak bisa dipertemukan, pendekatan integratif-interkonektif berupaya mengurangi hal-hala yang yang memisahkan keduanya, bahkan pendekatan tersebut hadir untuk mendekatkan dan mengaitkan antar keduanya.
Secara esensial, ilmu sudah terkandung dalam Al Quran. Beragama berarti berimu, begitu sebaliknya berilmu pasti beragama. Sehingga tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas dinilai atau dikritik. Menilai atau menggugat kembali keabsahan dan kebenaran suatu pendapat adalah keharusan tanpa menilai yang berpendapat.[1]
Dalam Islam, hubungan antara sains dan agama telah menjadi topik yang sangat menarik untuk dibahas. Gagasan mengenai sains Islami atau Islamisasi sains merupakan reaksi atas sains modern yang ateistik-materialistik. Sains Islami pada mulanya dipopulerkan oleh pemikir muslim seperti Sayyed Hossen Nasr, Ziauddun Sardar, Ismail al-Faruqi, al Attas dan pada akhir-akhir ini ada Gholsani. Pemikiran mereka sering mendapat lebel islamisasi ilmu. Meskipun gagasan mereka berbeda, semuanya bergerak pada lapangan dan tingkat yang sama yaitu epistemologi dan sedikit menyentuh aspek metafisika.
Topik tersebut memunculkan dua pandangan mendasar, pertama, mengingatkan para agamawan terdahulu atas sikap traumatika pada abad pertengahan mengenai relasi kritis keduanya, kedua, membuka kenangan baru terhadap bukti kesuksesan masyarakat Muslim era awal atas relasi dinamis keduanya.[2]
Konsep keutuhan ilmu yang sudah sesuai dengan Al Quran dan Hadis serta para ulama’ terdahulu perlu diwujudkan kembali di era sekarang. Hal tersebut dilakukan dengan cara meninjau ulang format pendidikan Islam non dikotomik atau dengan mengupayakan struktur keilmuan pendidikan hadhari  yang integratif dan interkoneksitas. Hal tersebut dilakukan dengan upaya pengintegrasian ilmu umum “sains” dan agama dengan merujuk pada filsafat pendidikan.

2.      Integratif-Interkonektif: Sebuah Pendekatan
Integrasi adalah salah satu bentuk interaksi antara agama dan ilmu pengetahuan. Dalam integrasi, agama menyumbangkan ajarannya pada ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan memberikan pengetahuanya pada agama.[3] Agama dan ilmu pengetahuan tidak berperang.[4]
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi, keilmuan yang hadir bisa dirasakan oleh semua orang baik yang beragama Islam maupun non Islam, keilmuan yang ada menjadi sesuatu yang natural, tidak sebagai perbuatan keagamaan, namun sebagian masih menganggap sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang.[5]
Pada hakikatnya pendekatan integratif-interkonektif ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan saling memiliki keterkaitan, karena yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan adalah realitas alam semesta, yang membedakan adalah dimensi dan fokus perhatian dilihat dari berbagai disiplin yang berbeda. Rasa superior, eksklusifitas, pemilihan secara dikotomis terhadap masing-masing bidang keilmuan yang dimaksud akan merugiakan diri sendiri dan orang lain, baik secara psikologis maupun akademis.[6]
Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti integrasi adalah upaya penyatuan wahyu Tuhan dengan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik) dengan tidak meniadakan Tuhan (sekularisme) atau menguilkan manusia (other wordly asceticisme).[7] Model integrasi adalah menjadikan al Quran as Sunnah sebagai grand theory pengetahuan. Sehingga di dalamnya menggunakan ayat-ayat qouliyah dan ayat-ayat kauniyah.[8]
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan agama “Islam” dapat dibagi menjadi tiga orak, yaitu paralel, linier dan sirkular.
a.         Pendekatan paralel, setiap orak keilmuan umum dan Islam berjalan sendiri- sendiri tanpa ada hubungan dan persebtuhan antara yang satu dengan yang lainnya.
b.        Pendekatan Liniar, antara keilmuan umum dan Islam ada yang menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
c.         Pendekatan Sirkular, masing-masing keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan pada masing-masing keilmuan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain, serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri.[9]
Amin Abdullah memberi contoh konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah, yang praktek danteori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain: bagi hasil (muhadharah) dan kerja sama (al musyarakah). Dalam hal tersebut Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas.[10]

3.      Pola-pola Integrasi dalam Islam
Sebagaimana yang dikutip Hartono, Barbour menyatakan ada tiga versi pandangan yang berbeda terkait hubungan antara sains dan agama. Pertama, kelompok natural theology yang mengekalim eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari bukti-bukti mengenai adanya desain sistematis alam semesta sehingga mampu memberikan kesadaran mengenai peranan Tuhan di dunia. Kedua, kelompok theology of natural yang mengeklaim bahwa sumber utama teologi berada di luar sains, tetapi teori sains dapat memberikan dampak yang kuat untuk merekontruksi rumusan-rumusan doktrinal agama. Ketiga, kelompol sintesis sistemik yang mengeklaim bahwa sains dan agama dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan konsep metafisika inklusif, misalnya filsafat proses.[11]
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikembangkan pola-pola integrasi sains dan agama. Adapun pola kerja integrasi tersebut adalah:
a.    Objektivikasi Agama
Objektivikasi agama ke dalam sains yaitu menjadikan teks-teks agama sebagai landasan sains. Teks agama dikontekstualisasikan sesuai dengan perkembangan sains, hal tersebut sebagai upaya untuk memahami teks teks agama atau ayat-ayat namun masih terjadi perdebatan karena jika ayat-ayat Al Quran diasumsikan sebagai kebenaran mutlak dari Allah, maka pembuktian kebenaran atas ayat-ayat Al Quran adalah kontradiktif. Dalam konteks ini, bukan pembuktian kebenaran, tetapi memberi pengertian dan makna atas ayat-ayat yang lebih luas.
Kuntowijoyo menggambarkan proses objektifikasi dengan pola dari teks ke konteks yang artinya pemahaman atas ayat-ayat Al Quran menjadi titik tolak perumusan dan pengembangan pengetahuan yang berbasis sains dan agama.
 
b.    Subjektivikasi Sains
Menurut Kuntowijoyo, integralisasi adalah penyatuan kekayaan keilmuan manusia (temuan-temuan empirik) dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Al Quran beserta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi). Menurut Hartono, temuan-temuan saintifik dibawa ke dalam realitas obyektif, proses pada ranah mind manusia dari temuan sains ke dalam pemahaman wahyu.
Subjektifikasi tidak akan menafikan peran Tuhan dan juga peran manusia. Subjektifikasi menempatkan peran dan kebenaran dalam pandangan masing-masing, sehingga kebenarannya tidak saling bertentangan dan menegasikan.  Subjektifikasi sains dan agama menggambarkan temuan empirik sebagai fakta.

4.      Integrasi Sains dan Agama; Integrasi ayat-ayat Ilahiyah (Ketuhanan) dengan ayat-ayat Kauniyah (Kealaman)
Ilmu pengetahuan disebut ekuwvalen dalam bahasa Perancis, dan Science dalam bahasa Inggris, sedangkan dalam bahasa Arab ilmu pengetahuan disebut dengan istilah ‘ilm.[12] Menurut Quraish Shihab, kata ‘Ilm dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali.[13] Kata tersebut digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan, ilmu dalam segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segalan yang berbentuk dari akar hanya mempunyai ciri kejelasan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dalam buku Intimations of Reality, Peacock menggambarkan sains dan agama sebagai suatu entitas yang memilki persamaan dan perbedaan, keduanya memiliki relasi dalam bidang intelektual. Hal tersebut didasa pada keyakinan bahwa manusia pada saat ini telah menjalani kehidupan dalam konteks sains. Artinya segala pola pikir dan tingkah laku manusia telah dikuasai oleh cara pandang sains terhadap dunia.
Sains dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, namun keduanya memiliki peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Dengan lahirnya agama, umat manusia memiliki iman, etika, moral dan beradab, sementara sains memberikan banyak pengetahuan kepada manusia karena dengan berkembangnya sains akan dapat memajukan dunia serta memberikan kemudahan fasilitas yang menunjang keberlangsungan kehidupan manusia.
Bahasa agama perlu ditafsiri dalam kerangka bahasa sains, melalui abang epistemologi sains modern, yaitu logika agama dikonstruk melalui kekuatan nalar logis, rasionalis, filosofis, dan empiris yang diimplementasikan dengan pendampingan logika penalaran kegamaan (wahyu). Penggalian makna hakikat keagamaan tidak akan menuai pendangkalan makna “pemahaman yang dangkal” karena sistem penalaran logis, rasionalis dan filosofi telah dibangun dengan kuat. Sehingga keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Hal tersebut sesuai dengan statemen Rasulullah bahwa agama adalah  rangkaian-rangkaian “aqal, dan tidak disebut agama bagi siapa saja yang tidak mempunyai nalar yang ukup untuk memahaminya. Dengan demikian di dalam sains terdapat dimensi agama (sistem nilai), sebaliknya di dalam agama terdapat sains (sistem kognisi).[14]
Perbedaan antara sains dan agama disebabkan adanya pandangan manusia yang berkesimpulan bahwa hasil identifikasi ilmu berdasarkan sumber objek kajian.[15] Agama dan sains berbeda namun tidak bisa dipisahkan. Ukuran kebenaran dalam sains harus dibuktikan seara empiris, kebeneran dalam agama tidak perlu dibuktikan seara empiris. Namun dalam aspek keagamaan, pengalaman empiris dari pemeluk agama telah membeuktikan suatu kebenaran empiris, sehingga kesadaran ilmiah dan kesadaran agama memiliki titik temu.[16]
Menurut Quraish Shihab, dengan mengutip pendapat Whitehead dalam bukunya Science and The Modern World, “apabila kita menyadari betapa pentingnya agama dan ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antar keduanya”.[17]
Alam merupakan ayat-ayat dan manifestasi dari sifat-sifat Allah SWT. Ayat-ayat Ilahiah dipelajari melalui religious science sebagaimana hal tersebut telah berjalan selama ini, akan tetapi tidak boleh dipisahkan dengan ayat-ayat kauniyah sebagaimana terungkap dalam ilmu modern.
Langkah-langkah yang dihadirkan untuk membangun pola integrasi agama dan sains, antara lain[18]:
a.    Sainisasi wahyu
Wahyu dipahami dan dibaca dalam kerangka sains, melalui logika sains. Ada beberapa wahyu yang bisa dijelaskan secara teoritik dengan bahasa sains. Hal tersebut tidak menjadikan wahyu mengalami pergeseran makna, esensi maupun eksistensi fungsinya tetap sebagai wahyu. Wahyu yang sering diartikan dengan bahasa agama yang sakral bisa disandingka, didialogkan bahkan diintegrasikan dengan sains murni, bahasa agama telah menjelma menjadi bahasa yang sederajat dengan logika sains murni melalui kontruksi penalaran rasional manusia.
b.    Konkritisasi dan humanisasi wahyu
Wahyu yang abstrak dan universal bisa diimplementasikan secara humanis. Wahyu dibaca dalam kerangka kehidupan praksis-humanistik sesuai dengan semangat ajaran nilai-nilai kearifan lokal tanpa menggeser makna universalitasnya. Konkritisasi wahyu berarti upaya penafsiran terhadap teks-teks yang mamou memberi pemahaman konkrit dan mudah diterapkan oleh komunitas masing-masing. Oleh karena itu, penafsiran wahyu membutuhkan kesadaran dan kemampuan penelusuran secara historis, baik bi al riwayat (teks) maupun bi al dirayat (konteks).
c.    Rasionalisasi wahyu
Pada mulanya teks wahyu menyesuaikan dengan pemikiran rasional kehidupan masyarakat di mana teks wahyu itu diturunkan, oleh karena itu rasionalisasi wahyu berarti upaya mengembalikan dan menguak dimensi rasional kehidupan masyarakat melalui kontruksi teks wahyu yang ada, tekls tetap hidup karena selalu berdialektika dengan masa dan sesuai dengan rasionalitas kehidupan masyarakat.
Upaya para mufasir untuk menangkap makna wahyu dengan pendekatan rasional-filosofis, empiris dan praksis adalah suatu upaya membumikan teks wahyu dengan bahasa sains. Hal tersebut akan menundukkan agama pada posisi yang akrab dengan sains murni. Seara otomatis agama akan mengalami prises integrasi dengan sains murni. Sehingga agama menjadi bagian dari sains itu sendiri.
Dengan demikian, tidak ada jarak ataupun kesenjangan antara nalar sains dan agama, sebab yang dimaksud nalar agama di sini adalah  nalar agama yang sudah melalui proses sentuhan pemikiran manusia atau nalar pemikiran subyektif yang terinspirasi dari teks keagamaan.
Azyumardi Azra, mengemukakan tiga tipologi respon endikiawan Muslim berkaitan dengan hubungan antara keimuan agama dengan keilmuan umum:
a.    Restorasionis, tipologi ini menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah ilmu agama (ibadah). 
b.    Rekonstruksionis intepretasi agama digunakan untuk memperbaiki peradaban modern dengan Islam.
c.    Reintegrasi merupakan rekontruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al ayah al Quraniyah dan al ayah al Kauwniyah berarti kembali pada kesatuan transendental semua ilmu pengetahuan.[19]

5.      Kesatuan Filosofis
Agama sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan pengetahuan dalam segala aspek. Agama tidak mengajarkan bahwa wahyu Tuhan hanya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Pandangan tersebut menyatakan bahwa sumber pengetahuan ada dua, pengetahuan yang bersumber dari Tuhan dan pengetahuan yang beraasal dari manusia “teantroposentris”. Agama memberikan aturan bagaimana sebuah kebenaran ilmu dapat diukur, bagaimana ilmu dipriduksi dan bagaimana seharusnya tujuan ilmu-ilmu diarahkan. Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu perlu dikaji lebih dalam sebelum manusia mengembangkan ilmu. Selain ontologi dan epistemologi, agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu yang lahir dari induk agama harus lebih objektif. ilmu yang dihasilkan tidak hanya dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama, dan anti agama sebagai normativitas tetapi sebagai gejala keilmuan objektif, meliputi sisi historisitas-empirisitas.
Untuk lebih memahami kontruksi keilmuan, maka harus ada pendekatan terkait komponen yang menjadi penyangga keilmuan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga komponen tersebut dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Setiap pengetahuan mempunyai ciri-ciri spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi). Ketiga komponen tersebut saling berkaitan. Ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu. Ketiganya adalah interrelasi dan interdependensi (saling berkaitan dan saling bergantungan).[20]
Adapun penjelasan tentang filosofis pendidikan dengan pendekatan integratif – interkonektif sebagai berikut:
a.    Ontologi Pendidikan Integratif
Ontologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat yang ada,[21] melalui cabang ini, akan diidentifikasi mengenai hakikat “yang ada” dalam konteks pengembangan integrasi sains dan agama.
Pendekatan ontologi atau metafisik menekankan pada hakikat kebenaran, dalam hal ini adalah hakikat dari pendidikan tersebut. Pendidikan tidak terlepas dari manusia itu sendiri, oleh karena itu hakikat dari pendidikan berkaitan erat dengan hakikat manusia.
Pendekatan mengenai hakikat pendidikan melahirkan berbagai  jenis teori mengenai hakikat pendidikan. Pendidikan bukan kata benda, melainkan kata kerja karena didalamnya mengandung proses. Dalam pendekatan holistik integratif, Hakikat pendidikan merupakan usaha untuk memanusiakan manusia. Pendidikan diarahkan sepenuhnya untuk memberdayakan manusia secara lahiriah dan rohaniah.[22]
Ontologi atau hakikat dari pendidikan bersumber dari kebutuhan manusia terhadap proses pelatihan kemandirian dan mengerti tujuan hidup.
Dalam perspektif ontologis, pada hakikatnya ilmu adalah pemahaman yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat Allah, baik ayat Ilahiyah yang sudah terkodifikasikan dalam Al Quran maupun aya-ayat Kauniyah yang terhampar luar di seluruh jagat raya ciptaan Allah. Hasil kajian yang diperoleh oleh manusia harus dipahami atau diterima sebagai kebenaran yang relatif karena pemikiran yang dimilki manusia memili keterbatasan dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki Allah.
Dalam penetapan objek kajian integrasi sains dan agama didasarkan pada konsep “yang ada”, hartono mendasarkan hal tersebut pada ayat Al Quran yang artinya:
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” (QS. Al-Haq: 69; 39).

Dari ayat tersebut, “yang ada” dapat diklasifikasikan menjadi “yang ada” seara nyata-positif (yang dapat kamu lihat) dan “yang ada” seara tidak nyata-positif (yang tidak dapat kamu lihat). Dunia ini pada hakikatnya adalah yang nyata dan yang tidak nyata, bukan sebagaimana yang dipahami positivisme dan materialisme Barat.[23]
  Dalam filsafat ilmu, positivisme dipahami sebagai penggerak sains modern yang memahami alam sebagai fenomena fisik[24], sehingga yang menjadi ontologi sains modern adalah sesuatu yang dibatasi empiris atau fisik. Sedangkan dalam kajian keilmuan integrasi sains dan agama, hakikat “yang ada” atau ontologinya yaitu segala hal yang bersifat empiris dan non empiris dengan tidak meninggalkan spritualitas yang ada di dalamnya.

b.    Epistemologi Pendidikan Integratif
Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan (knowledge), sedangkan logos berarti ilmu atau teori (theory), dari kedua istilah tersebut, epistemologi dapat dimengerti sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berupaya mencari kebenaran (truth) berdasarkan fakta.[25]
 Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.
Epistemologi pendidikan adalah filsafat tentang sumber-sumber pendidikan dan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Pertanyaan yang diajukan adalah dari mana sumber pendidikan diperoleh dan bagaimana materi sumber-sumber pendidikan yang menjadi landasan terlaksananya pendidikan? Mengapa hal-hal tersebut menjadi landasan atau pijakan pendidikan?.
Dalam perspektif epistemologis ilmu diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan mengfoptimalkan indra[26] yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Sehingga tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas dan ilmu.
Epistemologi kajian keilmuan terdiri dari sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana untuk menapai pengetahuan. Dalam epistemologi terdapat dua aliran pokok, pertama aliran idealisme-rasionalis aliran yang menekankan akal, ide, kategori, form sebagai sumber menapai  pengetahuan ilmiah, kedua, aliran realisme-empiris yang menekankan pada objek empiris melalui pengindraan.
Sebagaimana yang dikutip Naqiyah, menurut Nasr keilmuan Islam klasik menggunakan metode pluralistik, menurut Kirmani, mengembangkan sistem nilai yang komprehenship untuk mengesahkan metode – metode spiritual dalam bidang sains. Menurut Anees, seperti yang dikutip Kirmani, ilmu pengetahuan abad pertengahan bukan antitesis untuk reduksionisme, tetapi antitesis yang metodologinya menekankan pada keseimbangan, sintetis, memperlakukan reduksionisme bukan sebagai ideologi melainkan hanya sebagai satu metode di antara seluruh kesatuan metode, menurut Sardar, interelasi ilmu dalam Islam merupakan aspek penting dari epistemologi Islam, penarian ilmu bukan wajib untuk diri sendiri tetapi merupakan bentuk ibadah dan berhubungan dengan setiap nilai Al Quran seperti khilafah, adil, dan istishlah. Metode yang holistik dari epistemologi Islam dan penekanannya pada kesatuan Islam dan nilai, material dan metafisik, menybabkan ilmu Islam mempunyai sifat yang unik.[27]
c.    Aksiologi Pendidikan Integratif
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar dan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilaiLandasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia berikut manfaatnya bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
Aksiologi pendidikan berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan, yaitu tentang hakikat pengetahuan atau hakikat keberadaan sesuatu yang bersifat fisikal atau metafisiskal, baik yang umum maupun yang khusus. Tujuan pendidikan atau aksiologi pendidikan pendidikan seara esensial adalah terwujudnya anak didik yang memahami ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terwujudnya insan kamil.[28]
Dalam perspektif aksiologi, ilmu yang akan diperoleh atau yang sudah diperoleh diarahkan kepada hal-hal yang bersifat memberi manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, bukan untuk menghanurkan kehidupan manusia karena ilmu tersebut merupakan bagian dari ayat-ayat Allah yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari.
Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan mengintegrasikan nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya dalam kepribadian anak didik. Memang un­tuk menjelaskan apakah yang baik itu, benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk membina kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan.
Pendidikan harus memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan sejenisnya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika, estetika dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah tangga/keluarga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai yang tak mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan sebalik­nya harus mendapat perhatian.
         


























Simpulan
Dikotomi ilmu sebagai salah satu sebab kemunduran Islam, oleh karena itu para Imuan Muslim berusaha untuk melakukan integrasi keilmuan dengan pendekatan integratif-interkonektif. Integrasi antara sains dan agama lebih menekankan pada integrasi – interkoneksi dan mengau pada perspektif ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Pendidikan integrati dengan model integrasi agama dan sains seara holistik-integralistik melibatkan ranah filasafat, pertama, ontologi “hakikat yang ada” dari pendidikan integratif sains dan agama adalah segala sesuatu yang ada di alam, baik berupa alam nyata maupun alam yang tidak nyata, di dalam Al Quran terdapat dalam ayat-ayat qouliyah, kauniyah dan nafsiyah. Kedua, epistemologi “teori Pengetahuan” yang dimaksud adalah mengoptimalkan fingsi indra (penglihatan, pendengaran dan hati nurani) dalam melakukan integrasi “penyatuan. Ketiga, Aksiologinya adalah terwujudnya kemanfaatan dan keberkahan ilmu, sehingga akan tercipta insan kamil yang bisa bertanggung jawab di kemudian hari.
Secara keseluruhan kerja filosofis integrasi sains dan agama dapat digambarkan sebagai berikut:
 


Rounded Rectangle:         AKSIOLOGI Rounded Rectangle:            ONTOLOGI terintegrasi
 




                                                                                   
 










DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata dkk. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Anshari , Endang Saifuddin. 1990. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
Azra, Azyumardi Azra. 2005. Membangun Integrasi Ilmu- Ilmu dalam Islam. Bandung: Mizan.
Bakhtiar, Amtsal. 1999. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
H. Roibin, Integrasi Agama dan SAINS; Model  Integrasi Holistik-Integralistik,  http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/integrasi-agama-dan-sains-model-integrasi-holistik-integralistik, diakses pada tanggal, 10 November 2015.
Hartono. 2011. Pendidikan Integratif. Purwokerto: STAIN Press.
Iwan, Asep. Integrasi Ilmu Keislaman dan Ilmu Umum. http://www.aswanblog.com/2013/03/integrasi-ilmu-ilmu-keislaman-dengan.html, diakses pada tanggal 20 Desember 2015.
Kuntowijoyo. 2005. Islam Sebagai Ilmu. Jakarta: Teraju.
M. Amin Abdullah, dkk. 2007. Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Yogyakarta: Suka Press.
Mukhtar, Naqiyah. 2003. Helenisasi atau Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa Klasik. Dalam Jurnal IBDA. Vol. 3.
Qamar, Mujamil. 2007. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.
Salahudin, Anas. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Shihab, Quraish. 2007. Membumikan Al Quran. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Sutrisno. 2006. Pendidikan Islam yang Menghidupkan. Yogyakarta: Kota Kembang.











[1] Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2006), hlm. 83.
[2] H. Roibin, Integrasi Agama dan SAINS; Model  Integrasi Holistik-Integralistik,  http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/integrasi-agama-dan-sains-model-integrasi-holistik-integralistik, diakses pada tanggal, 10 November 2015.
[3] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan), hlm. 56.
[4] Hal tersebut disebut The Marriage of Sense and Soul oleh Kent Wilber yang artinya agama dan ilmu pengetahuan tidak berperang namun melangsungkan perkawinan yang agung.
[5] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 62.
[6] M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm.viii.
[7] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 57.
[8] Kuntowijiyo menyatakan bahwa ilmu bukan qauliyah dan kauniyah melainkan termasuk juga ilmu nafsiyah, ilmu qauliyah berkaitan dengan hukum Tuhan, ilmu kauniyah berkaitan dengan hukum alam, sedangkan ilmu nafsiyah berkaitan dengan makna, nilai dan kesadaran, ilmu nafsiyah disebut ilmu humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan dan humaniora), lihat Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu... hlm. 51.
[9] M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 219.
[10] M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 105.
[11] Hartono, Pendidikan Integratif, (Purwokerto: STAIN Press, 2011), hlm. 25.
[12] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 47.
[13] Quraish Shihab, Wawasan Al Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996) hlm. 434.
[14] H. Roibin, Integrasi Agama dan SAINS; Model  Integrasi Holistik-Integralistik,  http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/integrasi-agama-dan-sains-model-integrasi-holistik-integralistik, diakses pada tanggal, 10 November 2015.
[15] Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 53.
[16] Kebenaran agama yang dimaksud diatas bisa lebih jelas deng melihat ontoh berikut  seseorang yang melakukan zikir dan ibadat dengan teratur, akan menjadikan jiwanya tenang, hidupnya semakin berarti, serta mampu mengendalikan diri dengan baik, pengalaman tersebut telah dilaksanakan oleh banyak orang, dengan kata lain semua orang melaksanakan ibadah agama secara konsisten. Lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 249.
[17] Menurut Qurais Shihab, pendapat tersebut didasarkan pada apa yang terjadi di Eropa pada abad ke 18, yang pada saat itu gereja (pendeta) di satu pihak dan di lain pihak dia menjadi ilmuwan, sehingga tidak dapan memperoleh kata sepakat tentang hubungan antara kitab sui dan ilmu pengetahuan. Demikian pula dengan Umat Islam, pengertian tentang hubungan antara Al Quran dan ilmu pengetahuan akan memberikan pengaruh terhadap agama dan sejarah perkembangan manusia pada generasi yang akan datang. Quraish Shihab, Membumikan Al Quran,  (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. 46.
[18] Asep Iwan, Integrasi Ilmu Keislaman dan Ilmu Umum, http://www.aswanblog.com/2013/03/integrasi-ilmu-ilmu-keislaman-dengan.html, diakses pada tanggal 20 Desember 2015.
[19] Azyumardi Azra, Membangun Integrasi Ilmu- Ilmu dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 206-211.
[20] Mujamil Qamar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 2.
[21] Melalui cabang tersebut, akan diidentifikasi tentang hakikat yang ada dalam konteks pengembangan integrasi sains dalam agama. Positivisme sebagai landasan filofofis sains dan modern mengatakan bahwa yang ada adlah yang nyata/ positif dan yang tidak nyata/ positif itu tidak ada, sehingga obyek sains modern adalah yang nyata/ positif dan terukur. Hartono, Pendidikan Integratif, (Purwokerto: STAIN Press, 2011), hlm. 31.
[22] Anas, Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 130.
[23] Hartono, Pendidikan Integratif, (Purwokerto: STAIN Press, 2011), hlm. 32.
[24] Alam dipandang sebagai fenomena benda-benda, tidak sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan dan bersifat spiritual, berbeda dengan masyarakat tradisional memahami alam sebagai realitas simbol yang memiliki makna spiritual. Positivesni sebagai ruh dari modernisme telah meniadakan spiritualitas dan memposisikan alam senagai eksploitasi.
[25] Epistemologi mengkaji asal-usul pengetahuan, bagaimana pengetahuan dibentuk dan dikembangkan, dari mana pengetahuan berasal. Rasionalisme dan empirisme merupakan aliran dalam filsafat barat yang menjadi akar sains modern.
[26] Yang dimaksud indra di sini adalah penglihatan, pendengaran dan hati (rasa).
[27] Naqiyah Mukhtar, Helenisasi atau Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa Klasik , 2005, IBDA’; Jurnal Studi Islam dan Budaya vol. 3, no. 1.  Hlm, 124.
[28] Insan kamil yaitu manusia yang kembali pada fitrahnyadan pada tujuan kehidupan yang sejati. Insan kamil sebagai sosok manusia seutuhnya yaitu manusia yang terdiri atas jiwa dan raga memiliki pengetahuan dan perilaku sebagaimana yang dimiliki Rasulullah atau setidaknya mendekati Rasulullah, dengan pengetahuan yang dimiliki, jiwa bisa mengendalikan perilaku untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2006), hlm. 80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar