PENDIDIKAN
INTEGRATIF – INTERKONEKTIF; KAJIAN FILSAFAT PENDIDIKAN
(Upaya Menemukan
Landasan Pendidikan Integratif)
(Anis Zulia A'limatun Nisa)
1.
Pendahuluan
Perkembangan Sains
pada dua abad yang sudah berlalu, lebih bersifat ateistik-materialistik, hal
tersebut mengancam eksistensi agama. Metafisika yang betentangan dengan agama
akan menyudutkan agama. Sehingga terjadi perdebatan sekaligus perjumpaan antara
sains dan agama, para teolog dan ilmuan dari Barat menghasilkan gagasan “sains teistik”
yaitu sains yang sensitive terhadap keyakinan dan ajaran agama. Sedangkan dalam
konteks Kristen Kontemporer, Ian Barbour mendasarkan pendekatan integrasi
“integrasi teologis” sebagai upaya mempertemukan sains dan agama dengan empat
tipologi, yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi.
Ilmu dan agama dua
kata yang beriringan mendampingi kehidupan manusia. Namun terkadang masih ada
sekat antara keduanya, seolah-olah keduanya berdiri sendiri, mempunyai wilayah
sendiri baik dari segi obyek-formal-material, metode penelitian, kreteria
kebenaran, keudanya seakan-akan tidak bisa dipertemukan, pendekatan
integratif-interkonektif berupaya mengurangi hal-hala yang yang memisahkan
keduanya, bahkan pendekatan tersebut hadir untuk mendekatkan dan mengaitkan
antar keduanya.
Secara esensial,
ilmu sudah terkandung dalam Al Quran. Beragama berarti berimu, begitu
sebaliknya berilmu pasti beragama. Sehingga tidak ada dikotomi antara agama dan
ilmu. Ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas dinilai atau dikritik. Menilai atau
menggugat kembali keabsahan dan kebenaran suatu pendapat adalah keharusan tanpa
menilai yang berpendapat.[1]
Dalam Islam,
hubungan antara sains dan agama telah menjadi topik yang sangat menarik untuk
dibahas. Gagasan mengenai sains Islami atau Islamisasi sains merupakan reaksi
atas sains modern yang ateistik-materialistik. Sains Islami pada mulanya
dipopulerkan oleh pemikir muslim seperti Sayyed Hossen Nasr, Ziauddun Sardar,
Ismail al-Faruqi, al Attas dan pada akhir-akhir ini ada Gholsani. Pemikiran
mereka sering mendapat lebel islamisasi ilmu. Meskipun gagasan mereka berbeda,
semuanya bergerak pada lapangan dan tingkat yang sama yaitu epistemologi dan
sedikit menyentuh aspek metafisika.
Topik tersebut memunculkan dua pandangan mendasar, pertama, mengingatkan para agamawan terdahulu atas sikap traumatika
pada abad pertengahan mengenai relasi kritis keduanya, kedua, membuka kenangan baru terhadap bukti kesuksesan masyarakat
Muslim era awal atas relasi dinamis keduanya.[2]
Konsep keutuhan
ilmu yang sudah sesuai dengan Al Quran dan Hadis serta para ulama’ terdahulu
perlu diwujudkan kembali di era sekarang. Hal tersebut dilakukan dengan cara
meninjau ulang format pendidikan Islam non dikotomik atau dengan mengupayakan
struktur keilmuan pendidikan hadhari yang integratif dan interkoneksitas. Hal
tersebut dilakukan dengan upaya pengintegrasian ilmu umum “sains” dan agama
dengan merujuk pada filsafat pendidikan.
2. Integratif-Interkonektif: Sebuah Pendekatan
Integrasi adalah salah satu bentuk interaksi antara agama dan ilmu
pengetahuan. Dalam integrasi, agama menyumbangkan ajarannya pada ilmu
pengetahuan, ilmu pengetahuan memberikan pengetahuanya pada agama.[3]
Agama dan ilmu pengetahuan tidak berperang.[4]
Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan
antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan
integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi,
keilmuan yang hadir bisa dirasakan oleh semua orang baik yang beragama Islam
maupun non Islam, keilmuan yang ada menjadi sesuatu yang natural, tidak sebagai
perbuatan keagamaan, namun sebagian masih menganggap sebagai perbuatan
keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang.[5]
Pada hakikatnya
pendekatan integratif-interkonektif ingin menunjukkan bahwa antar berbagai
bidang keilmuan saling memiliki keterkaitan, karena yang dibidik oleh seluruh
disiplin keilmuan adalah realitas alam semesta, yang membedakan adalah dimensi
dan fokus perhatian dilihat dari berbagai disiplin yang berbeda. Rasa superior,
eksklusifitas, pemilihan secara dikotomis terhadap masing-masing bidang
keilmuan yang dimaksud akan merugiakan diri sendiri dan orang lain, baik secara
psikologis maupun akademis.[6]
Kuntowijoyo
menyatakan bahwa inti integrasi adalah upaya penyatuan wahyu Tuhan dengan
temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik) dengan tidak meniadakan Tuhan
(sekularisme) atau menguilkan manusia (other
wordly asceticisme).[7]
Model integrasi adalah menjadikan al Quran as Sunnah sebagai grand theory pengetahuan. Sehingga di
dalamnya menggunakan ayat-ayat qouliyah dan ayat-ayat kauniyah.[8]
Pendekatan integratif-interkonektif
merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan
umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan agama “Islam” dapat dibagi menjadi
tiga orak, yaitu paralel, linier dan
sirkular.
a.
Pendekatan
paralel, setiap orak keilmuan umum
dan Islam berjalan sendiri- sendiri tanpa ada hubungan dan persebtuhan antara
yang satu dengan yang lainnya.
b.
Pendekatan
Liniar, antara keilmuan umum dan
Islam ada yang menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
c.
Pendekatan
Sirkular, masing-masing keilmuan
dapat memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan pada masing-masing
keilmuan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang
ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain, serta memiliki kemampuan untuk
memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri.[9]
Amin Abdullah
memberi contoh konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi
Syariah, yang praktek danteori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam
menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain: bagi hasil (muhadharah) dan kerja sama (al musyarakah). Dalam hal tersebut Islam
mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi
seluruh manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Pola kerja keilmuan yang
integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat
memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas.[10]
3. Pola-pola Integrasi dalam Islam
Sebagaimana yang
dikutip Hartono, Barbour menyatakan ada tiga versi pandangan yang berbeda
terkait hubungan antara sains dan agama. Pertama,
kelompok natural theology yang mengekalim eksistensi Tuhan dapat
disimpulkan dari bukti-bukti mengenai adanya desain sistematis alam semesta
sehingga mampu memberikan kesadaran mengenai peranan Tuhan di dunia. Kedua, kelompok theology of natural yang mengeklaim bahwa sumber utama teologi
berada di luar sains, tetapi teori sains dapat memberikan dampak yang kuat
untuk merekontruksi rumusan-rumusan doktrinal agama. Ketiga, kelompol sintesis
sistemik yang mengeklaim bahwa sains dan agama dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan konsep metafisika inklusif, misalnya filsafat proses.[11]
Berdasarkan uraian
tersebut dapat dikembangkan pola-pola integrasi sains dan agama. Adapun pola
kerja integrasi tersebut adalah:
a. Objektivikasi Agama
Objektivikasi agama ke dalam sains yaitu
menjadikan teks-teks agama sebagai landasan sains. Teks agama
dikontekstualisasikan sesuai dengan perkembangan sains, hal tersebut sebagai
upaya untuk memahami teks teks agama atau ayat-ayat namun masih terjadi
perdebatan karena jika ayat-ayat Al Quran diasumsikan sebagai kebenaran mutlak
dari Allah, maka pembuktian kebenaran atas ayat-ayat Al Quran adalah kontradiktif.
Dalam konteks ini, bukan pembuktian kebenaran, tetapi memberi pengertian dan
makna atas ayat-ayat yang lebih luas.
Kuntowijoyo menggambarkan proses
objektifikasi dengan pola dari teks ke konteks yang artinya pemahaman atas
ayat-ayat Al Quran menjadi titik tolak perumusan dan pengembangan pengetahuan
yang berbasis sains dan agama.
b. Subjektivikasi Sains
Menurut Kuntowijoyo, integralisasi adalah
penyatuan kekayaan keilmuan manusia (temuan-temuan empirik) dengan wahyu
(petunjuk Allah dalam Al Quran beserta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi).
Menurut Hartono, temuan-temuan saintifik dibawa ke dalam realitas obyektif,
proses pada ranah mind manusia dari
temuan sains ke dalam pemahaman wahyu.
Subjektifikasi tidak akan menafikan peran
Tuhan dan juga peran manusia. Subjektifikasi menempatkan peran dan kebenaran
dalam pandangan masing-masing, sehingga kebenarannya tidak saling bertentangan
dan menegasikan. Subjektifikasi sains
dan agama menggambarkan temuan empirik sebagai fakta.
4. Integrasi Sains dan Agama; Integrasi
ayat-ayat Ilahiyah (Ketuhanan) dengan
ayat-ayat Kauniyah (Kealaman)
Ilmu pengetahuan
disebut ekuwvalen dalam bahasa Perancis,
dan Science dalam bahasa Inggris,
sedangkan dalam bahasa Arab ilmu pengetahuan disebut dengan istilah ‘ilm.[12]
Menurut Quraish Shihab, kata ‘Ilm dengan
berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali.[13] Kata tersebut digunakan dalam arti proses
pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan, ilmu dalam segi bahasa berarti
kejelasan, karena itu segalan yang berbentuk dari akar hanya mempunyai ciri
kejelasan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dalam buku Intimations of Reality, Peacock
menggambarkan sains dan agama sebagai suatu entitas yang memilki persamaan dan
perbedaan, keduanya memiliki relasi dalam bidang intelektual. Hal tersebut
didasa pada keyakinan bahwa manusia pada saat ini telah menjalani kehidupan
dalam konteks sains. Artinya segala pola pikir dan tingkah laku manusia telah
dikuasai oleh cara pandang sains terhadap dunia.
Sains dan agama
merupakan dua entitas yang berbeda, namun keduanya memiliki peranan yang
penting dalam kehidupan manusia. Dengan lahirnya agama, umat manusia memiliki
iman, etika, moral dan beradab, sementara sains memberikan banyak pengetahuan
kepada manusia karena dengan berkembangnya sains akan dapat memajukan dunia
serta memberikan kemudahan fasilitas yang menunjang keberlangsungan kehidupan manusia.
Bahasa agama perlu ditafsiri dalam kerangka bahasa sains, melalui abang
epistemologi sains modern, yaitu logika agama dikonstruk melalui kekuatan nalar
logis, rasionalis, filosofis, dan empiris yang diimplementasikan dengan
pendampingan logika penalaran kegamaan (wahyu). Penggalian makna hakikat
keagamaan tidak akan menuai pendangkalan makna “pemahaman yang dangkal” karena
sistem penalaran logis, rasionalis dan filosofi telah dibangun dengan kuat.
Sehingga keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Hal tersebut sesuai
dengan statemen Rasulullah bahwa agama adalah
rangkaian-rangkaian “aqal, dan tidak disebut agama bagi siapa saja yang
tidak mempunyai nalar yang ukup untuk memahaminya. Dengan demikian di dalam sains
terdapat dimensi agama (sistem nilai), sebaliknya di dalam agama terdapat sains
(sistem kognisi).[14]
Perbedaan
antara sains dan agama disebabkan adanya pandangan manusia yang berkesimpulan
bahwa hasil identifikasi ilmu berdasarkan sumber objek kajian.[15] Agama dan sains berbeda
namun tidak bisa dipisahkan. Ukuran kebenaran dalam sains harus dibuktikan
seara empiris, kebeneran dalam agama tidak perlu dibuktikan seara empiris.
Namun dalam aspek keagamaan, pengalaman empiris dari pemeluk agama telah
membeuktikan suatu kebenaran empiris, sehingga kesadaran ilmiah dan kesadaran
agama memiliki titik temu.[16]
Menurut
Quraish Shihab, dengan mengutip pendapat Whitehead dalam bukunya Science and The Modern World, “apabila
kita menyadari betapa pentingnya agama dan ilmu pengetahuan, maka tidaklah
berlebihan apabila dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung
pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antar keduanya”.[17]
Alam merupakan
ayat-ayat dan manifestasi dari sifat-sifat Allah SWT. Ayat-ayat Ilahiah dipelajari melalui religious science sebagaimana hal
tersebut telah berjalan selama ini, akan tetapi tidak boleh dipisahkan dengan
ayat-ayat kauniyah sebagaimana terungkap dalam ilmu modern.
Langkah-langkah
yang dihadirkan untuk membangun pola integrasi agama dan sains, antara lain[18]:
a. Sainisasi wahyu
Wahyu dipahami dan dibaca dalam kerangka
sains, melalui logika sains. Ada beberapa wahyu yang bisa dijelaskan secara
teoritik dengan bahasa sains. Hal tersebut tidak menjadikan wahyu mengalami
pergeseran makna, esensi maupun eksistensi fungsinya tetap sebagai wahyu. Wahyu
yang sering diartikan dengan bahasa agama yang sakral bisa disandingka,
didialogkan bahkan diintegrasikan dengan sains murni, bahasa agama telah
menjelma menjadi bahasa yang sederajat dengan logika sains murni melalui kontruksi
penalaran rasional manusia.
b. Konkritisasi dan humanisasi wahyu
Wahyu yang abstrak dan universal bisa
diimplementasikan secara humanis. Wahyu dibaca dalam kerangka kehidupan
praksis-humanistik sesuai dengan semangat ajaran nilai-nilai kearifan lokal tanpa
menggeser makna universalitasnya. Konkritisasi wahyu berarti upaya penafsiran
terhadap teks-teks yang mamou memberi pemahaman konkrit dan mudah diterapkan
oleh komunitas masing-masing. Oleh karena itu, penafsiran wahyu membutuhkan
kesadaran dan kemampuan penelusuran secara historis, baik bi al riwayat (teks) maupun bi
al dirayat (konteks).
c. Rasionalisasi wahyu
Pada mulanya teks wahyu menyesuaikan dengan
pemikiran rasional kehidupan masyarakat di mana teks wahyu itu diturunkan, oleh
karena itu rasionalisasi wahyu berarti upaya mengembalikan dan menguak dimensi
rasional kehidupan masyarakat melalui kontruksi teks wahyu yang ada, tekls
tetap hidup karena selalu berdialektika dengan masa dan sesuai dengan
rasionalitas kehidupan masyarakat.
Upaya para mufasir
untuk menangkap makna wahyu dengan pendekatan rasional-filosofis, empiris dan
praksis adalah suatu upaya membumikan teks wahyu dengan bahasa sains. Hal
tersebut akan menundukkan agama pada posisi yang akrab dengan sains murni.
Seara otomatis agama akan mengalami prises integrasi dengan sains murni.
Sehingga agama menjadi bagian dari sains itu sendiri.
Dengan demikian, tidak ada jarak ataupun kesenjangan antara nalar sains dan
agama, sebab yang dimaksud nalar agama di sini adalah nalar agama yang sudah melalui proses
sentuhan pemikiran manusia atau nalar pemikiran subyektif yang terinspirasi
dari teks keagamaan.
Azyumardi Azra, mengemukakan tiga tipologi respon endikiawan Muslim
berkaitan dengan hubungan antara keimuan agama dengan keilmuan umum:
a. Restorasionis, tipologi ini menyatakan bahwa ilmu yang
bermanfaat dan dibutuhkan adalah ilmu agama (ibadah).
b. Rekonstruksionis
intepretasi agama digunakan untuk memperbaiki peradaban modern dengan Islam.
c. Reintegrasi merupakan
rekontruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al
ayah al Quraniyah dan al ayah al
Kauwniyah berarti kembali pada kesatuan transendental semua ilmu
pengetahuan.[19]
5. Kesatuan Filosofis
Agama sebagai
sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan pengetahuan dalam segala
aspek. Agama tidak mengajarkan bahwa wahyu Tuhan hanya sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan. Pandangan tersebut menyatakan bahwa sumber pengetahuan ada
dua, pengetahuan yang bersumber dari Tuhan dan pengetahuan yang beraasal dari
manusia “teantroposentris”. Agama memberikan aturan bagaimana sebuah kebenaran ilmu
dapat diukur, bagaimana ilmu dipriduksi dan bagaimana seharusnya tujuan
ilmu-ilmu diarahkan. Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu perlu dikaji lebih
dalam sebelum manusia mengembangkan ilmu. Selain ontologi dan epistemologi,
agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu yang lahir dari induk
agama harus lebih objektif. ilmu yang dihasilkan tidak hanya dirasakan oleh
pemeluk agama lain, non agama, dan anti agama sebagai normativitas tetapi
sebagai gejala keilmuan objektif, meliputi sisi historisitas-empirisitas.
Untuk lebih
memahami kontruksi keilmuan, maka harus ada pendekatan terkait komponen yang menjadi
penyangga keilmuan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga komponen
tersebut dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Setiap pengetahuan mempunyai
ciri-ciri spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk
apa (aksiologi). Ketiga komponen tersebut saling berkaitan. Ontologi ilmu
terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi
ilmu. Ketiganya adalah interrelasi dan interdependensi (saling berkaitan dan
saling bergantungan).[20]
Adapun penjelasan
tentang filosofis pendidikan dengan pendekatan integratif – interkonektif
sebagai berikut:
a. Ontologi Pendidikan Integratif
Ontologi merupakan cabang filsafat yang
mengkaji tentang hakikat yang ada,[21]
melalui cabang ini, akan diidentifikasi mengenai hakikat “yang ada” dalam
konteks pengembangan integrasi sains dan agama.
Pendekatan ontologi atau metafisik menekankan
pada hakikat kebenaran, dalam hal ini adalah hakikat dari pendidikan tersebut.
Pendidikan tidak terlepas dari manusia itu sendiri, oleh karena itu hakikat
dari pendidikan berkaitan erat dengan hakikat manusia.
Pendekatan mengenai hakikat pendidikan
melahirkan berbagai jenis teori mengenai
hakikat pendidikan. Pendidikan bukan kata benda, melainkan kata kerja karena
didalamnya mengandung proses. Dalam pendekatan holistik integratif, Hakikat
pendidikan merupakan usaha untuk memanusiakan manusia. Pendidikan diarahkan
sepenuhnya untuk memberdayakan manusia secara lahiriah dan rohaniah.[22]
Ontologi atau hakikat dari pendidikan
bersumber dari kebutuhan manusia terhadap proses pelatihan kemandirian dan
mengerti tujuan hidup.
Dalam perspektif ontologis, pada hakikatnya
ilmu adalah pemahaman yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh
tentang ayat-ayat Allah, baik ayat Ilahiyah
yang sudah terkodifikasikan dalam Al Quran maupun aya-ayat Kauniyah yang terhampar luar di seluruh
jagat raya ciptaan Allah. Hasil kajian yang diperoleh oleh manusia harus
dipahami atau diterima sebagai kebenaran yang relatif karena pemikiran yang
dimilki manusia memili keterbatasan dan pengetahuan yang memiliki kebenaran
mutlak hanya dimiliki Allah.
Dalam penetapan objek kajian integrasi sains
dan agama didasarkan pada konsep “yang ada”, hartono mendasarkan hal tersebut
pada ayat Al Quran yang artinya:
“Maka
Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu
lihat.” (QS. Al-Haq: 69; 39).
Dari ayat tersebut, “yang ada” dapat
diklasifikasikan menjadi “yang ada” seara nyata-positif (yang dapat kamu lihat)
dan “yang ada” seara tidak nyata-positif (yang tidak dapat kamu lihat). Dunia
ini pada hakikatnya adalah yang nyata dan yang tidak nyata, bukan sebagaimana
yang dipahami positivisme dan materialisme Barat.[23]
Dalam
filsafat ilmu, positivisme dipahami sebagai penggerak sains modern yang
memahami alam sebagai fenomena fisik[24],
sehingga yang menjadi ontologi sains modern adalah sesuatu yang dibatasi
empiris atau fisik. Sedangkan dalam kajian keilmuan integrasi sains dan agama,
hakikat “yang ada” atau ontologinya yaitu segala hal yang bersifat empiris dan
non empiris dengan tidak meninggalkan spritualitas yang ada di dalamnya.
b. Epistemologi Pendidikan Integratif
Secara etimologi, epistemologi berasal dari
bahasa Yunani yakni episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan (knowledge), sedangkan logos berarti ilmu atau teori (theory), dari kedua istilah tersebut,
epistemologi dapat dimengerti sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi merupakan cabang filsafat yang
berupaya mencari kebenaran (truth) berdasarkan
fakta.[25]
Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas
tentang pengetahuan dan cara memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori
pengetahuan, yakni cabang filsafat yang membicarakan tentang cara memperoleh
pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan. Dengan kata lain,
epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang
tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.
Epistemologi pendidikan adalah filsafat
tentang sumber-sumber pendidikan dan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan.
Pertanyaan yang diajukan adalah dari mana sumber pendidikan diperoleh dan
bagaimana materi sumber-sumber pendidikan yang menjadi landasan terlaksananya
pendidikan? Mengapa hal-hal tersebut menjadi landasan atau pijakan pendidikan?.
Dalam perspektif epistemologis ilmu diperoleh
melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan mengfoptimalkan indra[26]
yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia terhadap hukum-hukum alam dan
sosial (sunnatullah). Sehingga tidak
menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas dan ilmu.
Epistemologi kajian
keilmuan terdiri dari sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana untuk
menapai pengetahuan. Dalam epistemologi terdapat dua aliran pokok, pertama aliran idealisme-rasionalis
aliran yang menekankan akal, ide, kategori, form sebagai sumber menapai pengetahuan ilmiah, kedua, aliran realisme-empiris yang menekankan pada objek empiris
melalui pengindraan.
Sebagaimana yang
dikutip Naqiyah, menurut Nasr keilmuan Islam klasik menggunakan metode
pluralistik, menurut Kirmani, mengembangkan sistem nilai yang komprehenship
untuk mengesahkan metode – metode spiritual dalam bidang sains. Menurut Anees,
seperti yang dikutip Kirmani, ilmu pengetahuan abad pertengahan bukan antitesis
untuk reduksionisme, tetapi antitesis yang metodologinya menekankan pada
keseimbangan, sintetis, memperlakukan reduksionisme bukan sebagai ideologi
melainkan hanya sebagai satu metode di antara seluruh kesatuan metode, menurut
Sardar, interelasi ilmu dalam Islam merupakan aspek penting dari epistemologi
Islam, penarian ilmu bukan wajib untuk diri sendiri tetapi merupakan bentuk
ibadah dan berhubungan dengan setiap nilai Al Quran seperti khilafah, adil, dan istishlah. Metode yang holistik dari epistemologi Islam dan
penekanannya pada kesatuan Islam dan nilai, material dan metafisik, menybabkan
ilmu Islam mempunyai sifat yang unik.[27]
c. Aksiologi Pendidikan Integratif
Aksiologi
adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar dan logos yang
berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori
nilaiLandasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan
ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia berikut manfaatnya bagi
kehidupan manusia. Dengan kata lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap
pengembangan ilmu itu dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
Aksiologi pendidikan berkaitan dengan ilmu
dan pengetahuan, yaitu tentang hakikat pengetahuan atau hakikat keberadaan
sesuatu yang bersifat fisikal atau metafisiskal, baik yang umum maupun yang
khusus. Tujuan pendidikan atau aksiologi pendidikan pendidikan seara esensial
adalah terwujudnya anak didik yang memahami ilmu dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Terwujudnya insan kamil.[28]
Dalam perspektif aksiologi, ilmu yang akan
diperoleh atau yang sudah diperoleh diarahkan kepada hal-hal yang bersifat
memberi manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, bukan untuk menghanurkan
kehidupan manusia karena ilmu tersebut merupakan bagian dari ayat-ayat Allah
yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari.
Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji
dan mengintegrasikan nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya
dalam kepribadian anak didik. Memang untuk menjelaskan apakah yang baik itu,
benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah
dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk membina kepribadian ideal
anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan.
Pendidikan harus
memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan sejenisnya kepada
peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika, estetika
dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah
tangga/keluarga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai yang tak mungkin
diabaikan dunia pendidikan bahkan sebaliknya harus mendapat perhatian.
Simpulan
Dikotomi ilmu
sebagai salah satu sebab kemunduran Islam, oleh karena itu para Imuan Muslim
berusaha untuk melakukan integrasi keilmuan dengan pendekatan
integratif-interkonektif. Integrasi antara sains dan agama lebih menekankan
pada integrasi – interkoneksi dan mengau pada perspektif ontologi, epistemologi
dan aksiologi.
Pendidikan integrati dengan model integrasi agama dan sains seara holistik-integralistik melibatkan ranah
filasafat, pertama, ontologi “hakikat
yang ada” dari pendidikan integratif sains dan agama adalah segala sesuatu yang
ada di alam, baik berupa alam nyata maupun alam yang tidak nyata, di dalam Al
Quran terdapat dalam ayat-ayat qouliyah, kauniyah dan nafsiyah. Kedua, epistemologi “teori Pengetahuan”
yang dimaksud adalah mengoptimalkan fingsi indra (penglihatan, pendengaran dan
hati nurani) dalam melakukan integrasi “penyatuan. Ketiga, Aksiologinya adalah terwujudnya kemanfaatan dan keberkahan
ilmu, sehingga akan tercipta insan kamil
yang bisa bertanggung jawab di kemudian hari.
Secara keseluruhan kerja filosofis integrasi sains dan agama dapat
digambarkan sebagai berikut:
terintegrasi
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata dkk. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Anshari
, Endang Saifuddin. 1990. Ilmu, Filsafat
dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
Azra, Azyumardi Azra. 2005. Membangun Integrasi Ilmu- Ilmu dalam Islam. Bandung: Mizan.
Bakhtiar, Amtsal. 1999. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
H. Roibin, Integrasi
Agama dan SAINS; Model Integrasi
Holistik-Integralistik, http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/integrasi-agama-dan-sains-model-integrasi-holistik-integralistik, diakses pada tanggal, 10 November 2015.
Hartono. 2011. Pendidikan
Integratif. Purwokerto: STAIN Press.
Iwan, Asep. Integrasi
Ilmu Keislaman dan Ilmu Umum. http://www.aswanblog.com/2013/03/integrasi-ilmu-ilmu-keislaman-dengan.html,
diakses pada tanggal 20 Desember 2015.
Kuntowijoyo.
2005. Islam Sebagai Ilmu. Jakarta:
Teraju.
M. Amin Abdullah, dkk. 2007. Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Yogyakarta:
Suka Press.
Mukhtar, Naqiyah. 2003. Helenisasi atau Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa Klasik. Dalam
Jurnal IBDA. Vol. 3.
Qamar, Mujamil. 2007. Epistemologi
Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta:
Erlangga.
Salahudin, Anas. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:
Mizan.
Shihab, Quraish. 2007. Membumikan Al Quran. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Sutrisno. 2006. Pendidikan
Islam yang Menghidupkan. Yogyakarta:
Kota Kembang.
[2]
H. Roibin, Integrasi Agama dan
SAINS; Model Integrasi
Holistik-Integralistik, http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/integrasi-agama-dan-sains-model-integrasi-holistik-integralistik, diakses pada
tanggal, 10 November 2015.
[4] Hal tersebut disebut The Marriage of Sense and Soul oleh Kent
Wilber yang artinya agama dan ilmu pengetahuan tidak berperang namun
melangsungkan perkawinan yang agung.
[6]
M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Studies
dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Suka Press, 2007),
hlm.viii.
[8]
Kuntowijiyo menyatakan bahwa ilmu bukan qauliyah dan kauniyah melainkan
termasuk juga ilmu nafsiyah, ilmu qauliyah berkaitan dengan hukum Tuhan, ilmu
kauniyah berkaitan dengan hukum alam, sedangkan ilmu nafsiyah berkaitan dengan
makna, nilai dan kesadaran, ilmu nafsiyah disebut ilmu humaniora (ilmu-ilmu
kemanusiaan dan humaniora), lihat Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu... hlm. 51.
[9]
M. Amin Abdullah, dkk., Islamic
Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Suka Press,
2007), hlm. 219.
[10]
M. Amin Abdullah, dkk., Islamic
Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Suka Press,
2007), hlm. 105.
[13]
Quraish Shihab, Wawasan Al Quran Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996) hlm. 434.
[14] H. Roibin, Integrasi
Agama dan SAINS; Model Integrasi
Holistik-Integralistik, http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/integrasi-agama-dan-sains-model-integrasi-holistik-integralistik, diakses pada tanggal, 10 November 2015.
[15]
Abuddin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama
dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 53.
[16]
Kebenaran agama yang dimaksud diatas bisa lebih jelas deng melihat ontoh
berikut seseorang yang melakukan zikir
dan ibadat dengan teratur, akan menjadikan jiwanya tenang, hidupnya semakin
berarti, serta mampu mengendalikan diri dengan baik, pengalaman tersebut telah
dilaksanakan oleh banyak orang, dengan kata lain semua orang melaksanakan
ibadah agama secara konsisten. Lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 249.
[17]
Menurut Qurais Shihab, pendapat tersebut didasarkan pada apa yang terjadi di
Eropa pada abad ke 18, yang pada saat itu gereja (pendeta) di satu pihak dan di
lain pihak dia menjadi ilmuwan, sehingga tidak dapan memperoleh kata sepakat
tentang hubungan antara kitab sui dan ilmu pengetahuan. Demikian pula dengan
Umat Islam, pengertian tentang hubungan antara Al Quran dan ilmu pengetahuan
akan memberikan pengaruh terhadap agama dan sejarah perkembangan manusia pada
generasi yang akan datang. Quraish Shihab, Membumikan
Al Quran, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2007), hlm. 46.
[18]
Asep Iwan, Integrasi Ilmu Keislaman dan
Ilmu Umum, http://www.aswanblog.com/2013/03/integrasi-ilmu-ilmu-keislaman-dengan.html,
diakses pada tanggal 20 Desember 2015.
[19]
Azyumardi Azra, Membangun Integrasi Ilmu-
Ilmu dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 206-211.
[20]
Mujamil Qamar, Epistemologi Pendidikan
Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2007),
hlm. 2.
[21]
Melalui cabang tersebut, akan diidentifikasi tentang hakikat yang ada dalam
konteks pengembangan integrasi sains dalam agama. Positivisme sebagai landasan
filofofis sains dan modern mengatakan bahwa yang ada adlah yang nyata/ positif
dan yang tidak nyata/ positif itu tidak ada, sehingga obyek sains modern adalah
yang nyata/ positif dan terukur. Hartono, Pendidikan
Integratif, (Purwokerto: STAIN Press, 2011), hlm. 31.
[24]
Alam dipandang sebagai fenomena benda-benda, tidak sebagai sesuatu yang
mempunyai tujuan dan bersifat spiritual, berbeda dengan masyarakat tradisional
memahami alam sebagai realitas simbol yang memiliki makna spiritual.
Positivesni sebagai ruh dari modernisme telah meniadakan spiritualitas dan
memposisikan alam senagai eksploitasi.
[25]
Epistemologi mengkaji asal-usul pengetahuan, bagaimana pengetahuan dibentuk dan
dikembangkan, dari mana pengetahuan berasal. Rasionalisme dan empirisme merupakan
aliran dalam filsafat barat yang menjadi akar sains modern.
[27]
Naqiyah Mukhtar, Helenisasi atau
Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa Klasik , 2005, IBDA’; Jurnal Studi
Islam dan Budaya vol. 3, no. 1. Hlm,
124.
[28]
Insan kamil yaitu manusia yang kembali pada fitrahnyadan pada tujuan kehidupan
yang sejati. Insan kamil sebagai sosok manusia seutuhnya yaitu manusia yang
terdiri atas jiwa dan raga memiliki pengetahuan dan perilaku sebagaimana yang
dimiliki Rasulullah atau setidaknya mendekati Rasulullah, dengan pengetahuan
yang dimiliki, jiwa bisa mengendalikan perilaku untuk mencapai kebahagiaan
akhirat. Sutrisno, Pendidikan Islam yang
Menghidupkan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2006), hlm. 80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar