Pendidikan sebagai media menjadi Insan Kamil

Rabu, 23 Maret 2016

Rancangan Proposal



Anis Zulia A’limatun Nisa’
1522606006

1.      Memilih satu kawasan penelitian pendidikan
2.      Mengidentifikasi  permasalahan-permasalahan terkait kawasan penelitian pendidikan yang sudah dipiliha
3.      Menyusun rumusan masalah (deskriptif, korelatif dan komparatif)
4.      Membuat narasi pendek (3 paragraf) sehingga terbentuk latar belakang

Pembelajaran Integratif Sains dan Pendidikan Agama Islam
Identifikasi permasalahan:
1)      Masih menjadikan manusia sebagai sumber ilmu pengetahuan
2)      Masih ada anggapan bahwa ilmu (sains) dan agama tidak bisa dipersatukan
3)      Dalam pengembangan ilmu (sains) belum menjunjung tinggi nilai-nilai Agama
4)      Pendidikan Agama Islam lebih fokus pada persoalan teori agama yang bersifat kognitif
5)      Belum menjadikan Tuhan sebgai sumber pengetahuan
6)      Belum ada jembatan antara sains dan pendidikan Agama

Rumusan Masalah
1)      Deskriptif
Bagaimana proses pembelajaran integratif sains dan Pendidikan agama?
2)      Korelatif
Adakah perbedaan sikap peserta didik yang telah menerima mata pelajaran Sains dari pendidik yang menerapkan pembelajaran Sains integratif dengan yang tidak?
3)      Komparatif
Adakah hubungan antara nilai-nilai pendidikan Islam dengan pembelajaran sains?
Latar Belakang Masalah
Pembelajaran Integratif Sains dan Pendidikan Agama
Manusia dan hewan adalah sama-sama makhluk Tuhan, namun keduanya mempunyai peran yang berbeda. Hewan hanya mempunyai nafsu sedangkan manusia lebih dari hewan. Selain nafsu, manusia juga mempunyai akal dan hati sebagai pengendali nafsu yang melekat pada diri manusia. Akal dan hati yang dimiliki manusia merupakan sarana untuk mengembangka  mengembangkan  mengembangkan kemampuan, kecerdasan serta kimanan yang diberikan Tuhan untuk membedakan dengan makhluk yang lain.
Keimanan dan ketakwaaan manusia merupakan dasar untuk mengembangkan kecerdasan manusia. Pasal 31 Ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjelaskan bahwa pengembangan kecerdasan harus didasari oleh keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Hal tersebut menjadi sebuah ukuran pengembangan kecerdasan peserta didik, yaitu cerdas yang beriman, bertakwa, dan berakhlak karimah. Didukung juga dengan Pasal 31 Ayat 5 yang menjelaskan tentang cara pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan nilai-nilai agama.
Potret pendidikan saat ini, sering kali hanya mengedepankan bagaimana menjadi ilmuwan yang mampu menemukan teknologi baru (sains) tanpa memegang nilai-nilai agama dalam menjani sebuah proses. Sebagai dampaknya, menjadikan hati gersang dari keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan serta ada anggapan bahwa pengetahuan yang telah diperoleh bersumber dari manusia tanpa campur tangan Tuhan. Hal tersebut menjadikan peserta didik jauh dari nilai-nilai agama. Sehingga diperlukan upaya untuk membangun hubungan yang positif antara sains dan agama. Yaitu integrasi Sains dan Pendidikan Agama.




Metode Istinbath Melalui Pendekatan Bahasa



Metode Istinbath Melalui Pendekatan Bahasa

Oleh Anis Zulia A'limatun Nisa

A.  Pendahuluan
 Al Quran dan As Sunnah merupakan merupakan sumber hukum Islam yang bersifat menyeluruh. Al Quran juga merupakan sumber dan rujukan pertama bagi syari’at. Karena terdapat kaidah-kaidah bersifat global beserta rinciannya. Keduanya merupakan obyek kajian Ushul Fiqih.
Al Quran diturunkan di Arab dan berbahasa Arab, untuk memahami teks-teks yang berbahasa Arab para ulama’ menyusun semantik yang digunakan dalam praktik penalaran fiqih karena bahasa Arab menyampaikan pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya.
Sebagaimana yang dikutib oleh Bahrissalim istinbath berarti mengeluarkan hukum dan dalil. Jalan istinbath memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil. Seorang ahli hukum harus mengetahuii prosedur cara penggalian hukum (thuruq al istinbath).[1]
Menurut Al Syatibi ada tiga pendekatan yang dipakai para mujtahid dalam memahami maqashid al syari’ah. Pertama, pendekatan yang berorientasi pada tekstual dan menolak penalaran qiyas. Kedua, pendekatan yang mendasarkan makna di balik nash dan tidak terikat dengan makna tekstualnya. Ketiga,  penggabungan kedua pendekatan yakni para mujtahid menemukan maksud dengan tetap memperhatikan lafal sekaligus tidak mengabaikan makna dan memperhatikan makna bash tanpa mengabaikan lafal.[2]
Para ulama’ Ushul membahas masalah bahasa dan pengertian-pengertiannya terlebih dahulu sebab hal tersebut dapat memberikan pengertian tertentu yang memberikan pandangan yang lebih tepat. Para ahli juga telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, yang di antaranya akan dijelaskan dalam makalah ini.
B.  Pendekatan Kebahasaan
Istinbath secara bahasa adalah mengeluarkan, sedangkan menurut istilah mengeluarkan makna-makna dari nash-nash (yang terkandung) dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan (potensi) naluriah.
Nash ada dua macam, yaitu:
a.       Berbentuk bahasa (lafdziyah)
b.      Tidak berbentuk bahasa tetapi dimaklumi (maknawiyah)
Kaidah lughowiyah adalah kaidah-kaidah yang dipakai oleh ulama/ushul (ushuliyyin) berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraaan Arab.[3]
Pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan adalah untuk mengetahui dalil-dalil yang am dan khas, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, muhkam, mufassar, mutasyabih, nash, zhahir, nasikh, mansukh, amr, nahy dan sebagainya. Dalam kaidah-kaidah kebahasaan dikemukakan cara-cara menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan secara dhahir, sehingga seluruh dalil yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah dapat dipahami serta diamalkan. Persoalan hukum dalam pendekatan bahasa berhubungan langsung dengan nash-nash dalam Al Quran dan Sunnah.[4]

C.  Bentuk-bentuk Pendekatan Kebahasaaan
1.    Dari segi penyampaian teks
a.    Amar (perintah)
Menurut mayoritas ulama’ Ushul Fikih, amar adalah suatu tuntutan (Perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.[5]
Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’ menyatakan bahwa  perintah untuk melakukan suatu perbuatan disampaikan dalam berbagai gaya bahasa atau redaksi antara lain:
1)   Perintah tegas dengan menggunakan kata amara dan seakar-akarnya
2)   Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba
3)   Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah.
4)   Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung.
5)   Perintah dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai oleh lam al amr (huruf yang berarti perintah.
6)   Perintah dengan menggunaka kata  faradha (mewajibkan)
7)   Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik.
8)   Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya
Hukum-hukum yang dibentuk dari amr:
1)   Menunjukkan hukum wajib
2)   Menunjukkan kebolehan melakukan sesduatu
3)   Sebagai anjuran
4)   Untuk melemahkan
5)   Sebagai ejekan dan penghinaan
Kaidah-kaidah[6] yang berhubungan dengan amr antara lain; pertama, kaidah yang menyatakan bahwa pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkan dari hukum semula.
Hal tersebut telah disepakati ahli bahasa dan didasarkan atas ayat 62 surat an Nur yang mengancam akan menyiksa orang-orang yang menyalahi perintah Allah, adanya ancaman siksaan itu menunjukkan bahwa perintah itu wajib dilaksanakan.
Kedua, دلالة الامر على التكرار او الوحدة  Suatu perintah harus dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja. Menurut jumhur ulama’ ushul fiqih, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil, karena perintah pada dasarnya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan dan perbuatan itu bisa terwujud meskipun perintahnya hanya dilakukan satu kali.[7]
Ketiga, دلالة الامر على الفوز او التراخى  Perintah harus dilakukan segera atau boleh ditunda-tunda. Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan , karena yang dimaksud dari perintah itu sendiri adalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan.[8]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa amr mengandung tiga komponen, yaitu al amir (yang memerintah), al ma’mur alaih (mukallaf), dan al mubin (aturan).[9]
Jumhur Ulama betpendapat bahwa lafal amr  diciptakan untuk memberi pengertian wajib, selama lafal amr tetap dalam kemuthlaq-annya menunjuk pada arti haqiqi, yakni wajib.[10] Jika ada dalil atau qarinah yang memalingkannya dari makna hakikatnya maka petunjuk lafal amr dapat berubah sesuai perubahan dalil atau qarinah yang menyertainya.[11]

Contoh firman Allah yang menunjukkan perintah:
...وا قيموا الصلاة وءاتو الزكاة ...
“...dan dirikanlah solat dan tunaikanlah zakat...”

Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan zakat.
Amr dalam Ushul Fiqih merupakan tuntutan dari Allah kepada hamba_Nya untuk memenuhi suatu perbuatan yang pada dasarnya menunjukkan hukum wajib tanpa terikat dengan waktu dan kuantitas pelaksanaannya. Sehingga semua perbuatan yang diperintah oleh syari’at bernilai baik.[12]
b.    Nahi (Larangan)
Menurut bahasa nahi berarti larangan. Sedangkan menurut istilah, nahi adalah larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.[13]

طلب الكف عن الفعل على جهة الاستعلاء بالصيغة الدال عليه
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannnya kepada pihak yang lebih tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.

Menurut al Ghazali dan al Amidi, seperti yang dikutip oleh Wahbah, makna nahi ada tujuh macam yaitu  tahrim, karihah, doa, irsyad, tahkir, bayanul “aqibah dan al ya’.[14]
Muhammad Khudari Bik menyebutkan bahwa Allah mengggunakan ragam bahasa untuk menunjukkan suatu larangan.
1)   Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau kata lain yang seakar. Secara bahasa naha berarti melarang.
2)   Larangan dengan menjelasakan bahwa suatu perbuatan diharamkan.
3)   Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan.
4)   Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai huruf lam[15].
5)   Larangan dengan cara mengancam pelaku dengan siksaan yang pedih.
6)   larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan.
7)   Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri.
Hukum yang ditunjukkan dalam bentuk Larangan
1)   Untuk menunjukkan hukum haram
2)   Sebgai anjuran meninggalkan
3)   Penghinaan
4)   Untuk menyatakan permohonan
Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi[16] (Larangan)
a)   الاصل فى النهي للتحريم
b)   النهي عن الشيئ امر بضده
c)   الاصل في النهي يدل على فساد المنهى عنه في العبادات
Pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu kecualui ada indikasi yang menunjukkkan hukum lain.
Suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang jika dikerjakan. Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh kaedah tersebut disepakati oleh para ulama’ Ushul Fiqih jika larangan tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak di luar esensi perbuatan. Suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.
Nahi merupakan suatu larangan mengerjakan sesuatu atau hal, pada dasarnya mempunyai dampak hukum haram, namun ada beberapa pendapat yang berselisih antara haram dan makruh. Nahi yang berkaitan dengan masalah fasad  menunjukkan bahwa nahi mengimplikasikan ke fasad an dari sesuatu yang dilarang.[17]
c.    Takhyir (Memberi pilihan)
Menurut Abd. Al Karim Zaidan, bahwa yang dimaksud takhyir adalah
ما خير  الشارع المكلف بين فعله وتركه
syar’i (Allah dan Rasul-Nya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Hukum yang ditunjukkan oleh ayat atau hadis dalam bentuk takhyir  adalah halal atau mubah (boleh dilakukan), dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.[18]
Menurut khudari Bik, untuk memberikan pilihan antara melakukan atau tidak, Al Quran memberikan berbagai cara, antara lain:[19]
1)   Menyatakan bahwa suatu perbuatan halal dilakukan, seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 187 yang menjelaskan tentang kebolehan “halal” menggauli istri di malam hari saat bulan ramadhan.
2)   Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan, seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 173.
3)   Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan, seperti dalam firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 235 tentang pembolehan meminang wanita yang dalam iddah wafat, tetapi dengan sindiran bukan terus terang.
2.    Dari segi cakupan makna
a.    ‘Am (Lafal Umum)
Sebagaimana yang dikutip oleh Satria dari Muhammad Adib Saleh, lafal umum adalah lafal yang diciptakan untuk pengrtian umum ssuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. Kata yang menunjukkan makna umum, seperti:
1)   Kata kull (setiap) dan jami’ (semua).
2)   Kata jama’ yang disertai alif dan lam di awalnya
3)   Kata benda tunggal yang di-ma’rifat-kan dengan alif lam.
4)   Isim syarat (kata benda untuk mensyaratkan)
5)   Isim nakirah (indefinite noun) yang dinafikan
6)   Isim maushul (kata ganti penghubung).
 Lafal umum, seperti yang dijelaskan Musthafa Sa’id al Khin, Guru Besar Ushul Fiqih Universitas Damaskus, dibagi menjadi tiga macam:[20]
1)   Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan)
2)   Lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu.
3)   Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau sebagian dari cakupannya.
Berkaitan dengan lafal umum, pasti berkaitan denga takhsis[21]. di antara dalil-dalil pen-takhsis, adalah al Quran, Sunnah dan qiyas. Lafal umum setelah ditakhsis, keumumannya menjadi khusus (makna sebagian). Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa ayat-ayat al Quran, dan hadits mutawatir[22],  dapat mentakhsis ayat-ayat umum dalam Al Quran.[23]
b.    Khas (Lafal Khusus)
Lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.[24] Lafal ini menunjukkan kepada sesuatu satuan tertentu artinya lafal itu hanya diperuntukkan untuk hal-al yang tertentu. Lafal khas terdiri dari afrad/satuan-satuan yang lain [25]
Bila ada lafal khas dalam nash syar’i maka makna khas yang ditunjukkan adalah qath’i  bukan dzanny, selama tidak ada dalil lain yang mengalihkan kepada tidak qath’i.[26]
Seperti dalam firman Allah:
والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء
Dan wanita-wanita yang dithalaq suaminya itu hendaklah menunggu iddah mereka selama tiga kali quru’ (haid atau suci). (al Baqarah:228)

Lafal tsalatsah adalah khash dan maknanya qath’i. Jadi wanita yang dithalaq oleh suaminya harus beriddah selama tiga quru’ (baca:haid). Lafal khash ada yang muthlaq dan ada yang muqayyad.[27]

3.    Dari segi batasannya
a.    Muthlaq
Secara bahasa muthlaq berarti bebas tanpa ikatan.[28] Menurut Ulama’ Ushul, muthlaq adalah لفظ خاص لم يقيد بقيد لفظي يقلل شيوعه [29]. Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa ayat yang bersifat mutlaq harus dipahami secara mutlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya, sebaliknya ayat yang bersifat muqayyad harus dilakukan sesuai dengan batasan (kait) nya.
Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata tersebut memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami.
Beberapa pendapat para ualam tentang muthlaq. Pertama, menurut Khudhari Beik, muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi. Kedua, menurut Abu Zahrah, muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat  sesuatu menurut apa adanya. Ketiga. menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.[30]
Jadi, Muthlaq adalah Lafal yang menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayid (pembatas). Muthlaq hanya menunjukan kepada suatu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lafal muthlaq pada umumnya berbentuk nakirah dalam konteks kalimat positif.
b.    Muqayyad
Secara bahas kata muqayyad berarti terikat.[31] Lafal muqayyad adalah لفظ خاص قيد بقيد لفظي يقلل شيوعه[32]  . Lafal muqayyad adalah lafal muthlaq yang diberikan kaitan dengan lafal lain sehingga artinya lebih tegas dan terbatas namun keterbatasan lafal muqayyad tidak menghilangkan jangkauan kepada lafad-lafad yang lain. Muqayyad merupakan suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
Lafad muthlaq dan muqayyad terdapat dalam ayat-ayat hukum dalam Al quran. Adapun kaidah Ushul Fiqih yang berlaku atas ayat-ayat tersebut adalah ayat yang bersifat muthlaq harus dipahami secara muthlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya, demikian juga ayat yang bersifat muqayyad harus dipahami sesuai dengan batasan (kait)nya.[33]
Dalam pandangan lain menyatakan bahwa terkadang hukum nash syara’ pada suatu tempat dipahami sebagai lafad muthlaq namun di tempat yang lain dipahami muqayyad.[34] Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad[35]. Pertama, hukum mutlak ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya. Ketika ada suatu lafadz mutlaq, maka makna tersebut ditetapkan berdasarkan kemutlakannya. Misalnya dalam surat an-Nisa:23 yang menjelaskan tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi laki-laki. Di antara perempuan itu adalah “ibu-ibu istrimu (mertua)”.Ayat ini sifatnya mutlak. Keharaman menikahi ibu mertua tidak memedulikan apakah istrinya sudah digauli atau belum. 
Kedua, lafal muthlaq yang ada dalil lain yang disebutkan sehingga lafal tersebut menjadi muqayyad. Misalnya dalam firman Allah surat an Nisa ayat 11, di mana dijelaskan bahwa lafal wasiat adalah muthlaq tanpa ada batasan (seperdua, sepertiga atau seluruhnya). Akan tetapi ada hadits Nabi yang menjelaskan bahwa harta yang yang diwasiatkan adalah sepertiga saja (tidak boleh lebih). Sehingga lafal wasiat dalam ayat tersebut menjadi muqayyad dengan hadits yang dijelaskan oleh Rasulullah.
Ketiga, lafal muqayyad tetap muqayyad karena tidak ada dalil lain yang menghapuskan batasannya. Contohya firman Allah tentang kifarat zihar dalam surat al Mujadilah ayat 3-4, pelaksanaan kifarat zihar dengan memerdekakan budak dan puasa selama dua bulan berturut-turut dan harus dilakukan sebelum istri bercampur lagi adalah muqayyad dengan ketentuan tersebut, tidak boleh dilakukan sesudah bercampur dan juga tidak boleh tidak berurutan.
Keempat, lafal muqayyad yang tidak menjadi muqayyad karena ada dalil lain yang menhapuskan batasan. Contohya dalam firman Allah surat an Nisa ayat 23 tentang wanita-wanita yang haram dinikahi. Keharaman menikahi anak tiri mempunyai dua sebab, yaitu anak tiri dalam pemeliharaan bapak tiri dan ibu dari anak tiri yang dikawininya telah digauli. Sebab kedua (telah menggauli ibu dari anak tiri) dipandang sebagai hal yang membatasi, sedangkan alasan pertama hanya mengikuti saja. Jadi, bila ayah tiri belum menggauli ibu kandung dari anak tiri, maka anak tiri boleh dinikahi, tentu saja dengan menceraikan terlebih dahulu ibu dari anak tiri tersebut. Jadi, hukum mengawini anak tiri yang semula haram (muqoyyad) menjadi halal (karena batasan muqoyyad telah dihapus). 
Hal – Hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan Muqayyad:
1)        Kemuthalaqan dan kemuqayyadan terhadap pada sebab hukum, namun masalah (Maudhu’) dan hukumnya sama, menurut jumhur ulama dari kalangan syafi’iyah, malikiyah dan hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
2)        Muthlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya namun sebabnya berbeda, masalah ini juga diperselisihkan, menurut Hanafiyah tidak boleh  membawa mutlaq pada muqayyad melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya.
Menurut Hanafiyah, merupakan suatu prinsip bahwa kita melaksanakan dalalah lafal atas semua hukum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga lafazh muthlaq tetap pada kemutlakannya dan lafazh muqayyad tetap pada kemuqayyaddannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap keluasan makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti mempersempit yang bukan dari perintah syara’. Berdasarkan pada ini lafazh mutlaq tidak bisa dibawa pada muqayyad, kecuali apabila terjadi saling menafikkan antara dua hokum, yakni sekiranya mengamalkan salah satunya membawa pada tanaqud (saling bertentangan).
Sedangkan Jumhur Ulama’ Al-Qur’an itu merupakan kesatuan hokum yang utuhdan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya berkaitan, sehingga apabila ada suatu kata dalam al-qur’an yang menjelaskan hokum berarti hukukm itu sama pada setiap tempat yang terdapat kata itu.(Asy-Syafi’i).
Alasan kedua, muqayyad itu harus menjadi dasar untuk menafikan dan menjelaskan maksud lafal muthlaq, sebab mutlaq itu kedudukanyya bisa dikatakan sebagai orang diam, yang tidak menyebut qayyid. Disini ia tidak menunjaukkan adanya qayiid dan tidak pula menolaknya, sedangkan muqoyyid sebagai orang yang berbicara , yang menjelaska adanya taqyid. Disini tampak jelas adanya kewajiban memakai qayyid ketika adanya dan menolaknya apabila tidak adanya. Sehingga kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu, lebih baik dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan maksud muthlaq.

4.    Dari segi pengertian dan pemahamannya
a.    Mantuq
Mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan. Sedangkan menurut istilah ushul fiqih berarti pengetahuan harfiah dari suatu hal yang diucapkan. Menurut uilama’ ushul fiqih, mantuq dibagi menjadi dua:
1)   Mantuq sharih, secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Menurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh Mustafa Sa’id al-Khim, adalah makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafal sesuai dengan penciptannya baik secara penuh atau berupa bagiannya.
2)    Mantuq ghairu sharih. Yaitu pengertian yang ditarik bukan dari makna sli dari suatu lafal, melainkan sebagai konsekuensi dari suatu ucapan. Mantuq jenis ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama dalala al-ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logis karena menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa. Kedua, Dalalat al-Isyarat yaitu suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya tetapi merupakan suatu kepastian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu. Ketiga, Dalalat al Iqtida’ yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
b.    Mafhum
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, dan menurut istilah adalah pengertian tersirat dari suatu lafal (mahum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah). Menurut ulama’ ushul fiqih dibagi menjadi dua, yaitu:
1)   Mafhum Muwafaqah, adalah penunjukan hukum melalui motivasi tersirat atau alasan logis di mana rumusan hukum dalam mantuq dilandaskan.
2)   Mafhum Mukhalafah, adalah penunjukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan.

5.    Dari segi jelas dan tidak jelasnya makna
Jumhur ulama Ushul Fiqih membagi lafal dari segi jelas dan tidak jelasnya kepada tiga tingkatan, yaitu nash, zhahir, dan mujmal,
a.    Nash
Secara etimologi, nash berarti az zuhur (jelas), pengertian nash mengalami perkembangan. Pengertian nash menurut Imam Syafi’i adalah teks Al Quran dan Sunnah Rasulullah, baik secara tegas maupun secara tegas. Sedangkan pengertia nash  menurut jumhur ulama (termasuk Al Ghazali), Nash adalah lafal yang menunjukkan pengertian yang sama sekali tida ada kebolehjadian pengertian lain baik jauh maupun dekat kecuali pengertian yang cepat ditangkap ketika mendengarkan bunyi lafal itu.
Para ulama’ Ushul Fiqih bersepakat bahwa kaidah Ushul Fiqih yang berlaku adalah segala sesuatu yang sudah tertulis secara pasti wajib diamalkan, tidak dibenakan berijtihad. Artinya jika suatu lafal sudah jelas dan tegas pengertiannya, ijtihad tidak diperlukan.[36]
Misalnya firman Allah: من بعد وصية يوصين بها او دين  an Nisa 13, lafal nash  harus diamalkan menurut arti yang ditunjuk oleh lafal tersebut sampai ada dalil yang menta’wilkannya. Dalam contoh ayat di atas, lafal wasiat dinyatakan secara muthlak kemudian dibatasi oleh hadits Nabi dengan batasan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta peninggalan.[37]
b.    Dhahir
Secara bahasa zhahir berarti  al wudhuh (jelas). Menurut istilah zhahir[38] berarti lafal yang meuunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai pada tingkatan zhanny (dugaan keras), artinya makna zhahir dari suatu lafal lebih cepat ditangkap setelah mendengarkan lafal tersebut, namun masih ada sedikit kebolehjadian pengertian lain selain pengertian yang ditangkap.
Dhahir adalah lafal yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki oleh sighat  lafal tersebut, tetapibukan makna itu yang dikehendaki oleh sitaq al-kalam dan lafal itumasih bisa dita’wilkan, ditafsirkan dan dapat dinasakh pada masa Rasulullah.[39]
Hukum lafal dhahir wajib diamalkan menurut arti yang ditunjuk oleh lafal tersebut, kecuali ada dalil lain yang menta’wilkannya. Jika dhahir berupa lafal muthlaq, maka wajib diamalkan sesuai dengan kemutlakannya sampai ada dalil yang mentaqyidkannya. Jika dhahir berupa lafal ‘amm, maka wajib diamalkan berdasarkan keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkan atau diamalkan menurut arti yang ditunjuk oleh lafal itu sampai ada dalil yang menasakhnya.[40]
Ayat tersebut mengandung lafal dhahir, sebab makna yang dikehendaki dan segera dapat dipahami dari ayat tersebut adalah halalnya mengawini wanita-wanita yang disenangi. Akan tetapi jika diperhatikan siyaq al kalam, maka bukanlah makna itu yang dimaksud. Maksud yang sebenarnya adalah membatasi jumlah wanita yang boleh dikawini, yaitu empat orang.[41]
c.    Mujmal
Secara etimologi mujmal berarti sekumpulan sesuatu tanpa memerhatikan satu per satunya. Menurut istilah berarti lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga untuk memahaminya memerlukan penjelasan dari luar (al bayan).[42]

Sedangkan lafal dari segi tidak jelasnya pengertian, kalangan Hanafiyah membagi kepada empat tingkatan:
a.    Khafi
Khafi  adalah lafal yang dari segi penunjukkanya kepada makna adalah jelas, namun ketidakjelasan timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada masalah-masalah tertentu. Ketidakjelasan tersebut disebabkan karena bentuk permasalahan tidak sama dengan permasalahan yang ditunjukkan oleh suatu dalil.[43]
Hukum khafi adalah wajib diteliti sebab-sebab yang menyebabkan kekaburan makna, kemudian menetapkannya pada permasalahan lain jika terenuhi unsur-unsurnya.[44]
Seperti dalam firman Allah dalam surat al Maidah ayat 38 tentang had bagi pencuri. Dalam firman tersebut mengandung lafal khafi yang menunjukkan pada orang yang mengambil barang orang lain secara diam-diam dari tempat penyimpanannya secara wajar. Akan tetapi, penerapannya ada perbedaan. Jika lafal tersebut diterapkan pada pencopet (al-nasyyal) dan pencuri kain kafan (al nabbasy) menimbulkan kekaburan dan untuk mengetahuinya diperlukan penelitian dan pemikiran mendalam.[45]
Dalam hal ini ulama cenderung memandang adanya unsur pencurian pada pencopetan, bahkan sebagai pencurian plus sehingga lebih wajib dipotong tangannya, demikian juga al nabbasy. Namun menurut Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa an nabbasy tidak dipotong tangannya karena tidak terpenuhinya seluruh unsur pencurian dalam.[46]
b.    Musykil
Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan itu disebabkan karena lafal itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda, sehingga untuk mengetahui pengertian yang dimaksud memerlukan dalil dari luar seperti dalam lafal musytarak (lafal yang diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda hakikatnya).
Menurut Abdul Wahab Khallaf, musykil adalah lafal yang sighotnya sendiri tidak menunjuk pada makna yang dikehendaki, tetapi harus ada qarinah dari luar yang memperjelas maksud yang dikehendakinya. Jadi, perlu mencari qarinahnya.[47]
Misalnya dalam firman Allah dalam surat al baqarah 228 yang artinya wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Kata quru’ dari dalam pemakaian bahasa Arab berarti masa suci atau masa haid. Imam Syafi’i mengartikan dengan masa suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikan dengan masa haid. Pengertian yang berbeda tersebut didasarkan pada qarinah atau dalil-dalil dari luar yang berbeda.
Setiap lafal musykil dalam Al quran dan Sunnah, dalam memahami maknanya memerlukan upaya ijtihad dalam mencari tanda-tanda atau dalil yang membantu untuk memperjelas pengertiannya.[48]
c.    Mujmal
Mujmal menurut Hanafiyah adalah lafal yang mengandung makna secara global di mana kejelasan maksud dan rinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafal tersebut, seperti istilah khusus dalam pemakaian syara’.[49]
d.   Mutasyabih
Mutasyabih menurut hanafiyah adalah suatu lafal yang tidak menunjukkan kejelasan makna dan tidak ada tanda-tanda atau dalil-dalil yang menjelaskannya. Iihak yang mengetahui maksudnya hanyalah pembuat syariat.[50]
6.    Lafal dari segi pemakaiannya[51]
a.    Hakikat
Lafal hakikat adalah lafal yang digunakan kepada pengertian aslinya sesuai dengan maksud penciptaannya.
b.    Majaz
Majaz adalah menggunakan lafal kepada selain pengertian aslinya karena ada hubungannya dengan makna aslinya itu serta ada qarinah  yang menunjukkan untuk itu.
Kaidah Ushul Fiqih yang berlaku adalah apabila suatu lafal mengandung arti hakikat dan arti majazi. Maka yang didahulukan adalah pengertian hakikatnya, kecuali ada indikasi yang menunjukkan pengertian majazi-nya. Selama tidak ada indikasi yang menunjukkan kepada pengertian majaz, maka suatu lafal harus diartikan dengan makna hakikatnya.[52]

7.    Ta’wil
Ta’wil berasal dari kata dasar al awlu yang menurut bahasa berarti ar ruju’ ila al-ashl (kembali kepada asal), dan dalam bentuk kata ta’wil bearti mengembalikan sesuatu kepada asal. Ta’wil  menurut ulama ushul fiqih berarti pemalingan suatu lafal dari makna yang dhahir kepada makna lainyang tidak cepat dapat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa makna tersebut adalah makna yang dimaksud oleh lafal tersebut.[53]
Menurut Adbi Shalih yang dikutip oleh Satria, ta’wil banyak berlaku pada bidang hukum Islam. Adapun beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh Adib Shalih tentang ta’wil adalah sebagai berikut:[54]
a.    Lafal yang akan dita’wil mengandung beberapa pengertian, baik ditinjau dari segi bahasa, kebiasaan atau dari segi penggunaan lafal dalam Syari’at Islam.
b.    Ada dalil atau indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh pembiara bukan makna dhahir-nya, tetapi makna yang tidak dhahir, dan dalil atau indikasi itu lebih kuat dibandingkan dengan alasan menetapkan suatu lafal pada makna hakikatnya.














SIMPULAN
            Alquran sebagai sumber hukum mempunyai struktur bahasa yang berbeda dengan sumber-sumber lain. Dalam mengistinbathkan hukum-hukum yang dikandung oleh al Quran harus memperhatikan berbagai struktur bahasa yang dipergunakan. Selain al Quran sumber hukum hukum lain adala as Sunnah, Sunnah Rasulullah mendukung dan menguatkan hukum-ukum yang ada dalam al Quran.
            Dalam menjelaskan hukum, al Quran menggunakan sighat yang berbeda, singga diperlukan metode istinbath kebahsaan dalam menentukan suatu hukum. Adakalanya penjelasan hukum dalam al Quran ada yang memerlukan penjelasan lain namun adapula yang tidak memerlukan penjelasan-penjelasan lain, karena ayat al Quran bersifat mujmal sehingga memerlukan tafsir atau ta’wil, dan ada pula yang bersifat mthlak sehingga memerlukan taqyid.
            Perbedaan penetapan hukum hukum oleh para Ulama’ tetap ada, karena sudut pandang para ulama berbeda-beda namun tetap mengarah untuk mewujudkan tatanan umat yang hidup dalam naungan rahmatan lil ‘alamin.
             









DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Syamsul dkk. 2008. Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta: Teras.
Effendi, Satria. 2012. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensi.  Jakarta: Zikrul Hakim.
Hamid Hakim. 2007.  As Sulam Juz 2. Jakarta: Sa’adoyah Putera.
Muchtar, Kamal dkk. 1995. Ushul Fiqh Jilid 2. Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf.
Nasrun Haroen, t.th. Ushul Fiqih 1. Jakarta:Logos.
Rahmat Syafi’I, MA. 2008. Ilmu Ushul Fiqh.. Bandung:Al-Ma’arif,

Suwarjin. 2012. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras

Wahbah al Zuhaili. 2006. Ushul al Fiqh al Islamy Juz II. Damaskus: Dar al Fikr.

Yahya, Muchtar dan Rohman, Fatchur, t.th. Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam. Bandung: Al-Ma’arif.



[1] Bahrissalim, “Ruang Lingkup Ushul Fiqih”, dalam buku Syamsul Bahri dkk, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm., hlm. 55.
[2] M. Mawardi Djalaluddin, “ “Membaca Maksud”  Tuhan Menurut Syariat” dalam buku Syamsul Bahri dkk, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 121.
[3] Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 3.
[4] Dalam pengantar buku Ushul Fiqih yang ditulis oleh Nasrun Haroen, Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1, (Jakarta:Logos, 1997), hlm. xi.
[5] Makna yang cepat ditangkap dari lafad amar adalah ايجاب  artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan. Allah memberikan perintah berarti itu adalah sebuah kewajiban. الاصل في الامر للوجوب ولاتدل على غيره الا بقرينة  , lihat Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2012), hlm. 178. Lihat juga Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 30.
[6] Kaidah-kaidah yang digunakan dalam amr ada sembilan kaidah, baca lengkap di Abdul Hamid Hakim, As Sulam Jus 2, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, 2007), hlm. 12-14.
[7] Kaidah yang digunakan oleh para Ulama’ Ushul adalah الاصل فى الامر يقتضى التكرار  lihat Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih..., hlm 43.
[8] Pendapat tersebut dianut oleh jumhur ulama’ ushul fiqih, adanya ajaran agar suatu kebaikan segera dilakukan, bukan ditarik dari perintah, melainkan dari dalil lain. Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2012), hlm. 186.
[9] Yang memerintah adalah Allah yakni sebagai pembuata syari’at, mukallaf adalah orang yang dibebani perintah atau tuntutan sedangkan al mubin adalah aturan atau hukum-hukum (syariat) sebagai perbuatan yang diperintahkan atau dituntut untuk dilaksanakan. Sofyan, “Sighot Taklif: Al Amr”, dalam Syamsul Bahrin, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 163.
[10] Firdaus, Ushul..., hlm. 143.
[11] Suwarjin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 196.
[12]Sofyan, “Sighot Taklif: Al Amr”, dalam Syamsul Bahrin, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 174.
[13] Firdaus, Ushul..., hlm. 143.
[14] Suwarjin, Ushul Fiqih,(Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 197.
[15] Adapun yang dimaksud adalah lam yang menunjukkan larangan “la Nahi”
[16] Baca juga di Abdul Hamid Hakim, As Sulam Juz 2, (Jakarta: Sa’adoyah Putera, 2007), hlm. 15-17. Suwarjin, Ushul Fiqih..., hlm. 199. Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 184-187.
[17] M. Fauzan Zenrif, “ Shigat Taklif: Al Nahi” dalam buku Syamsul Bahrin, Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.185.
[18] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 195.
[19] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 195.
[20] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 198-199.
[21] Seperti yang dikemukakan Khudari Bik, takhsis adalah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan sustu lafal umum adalah sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kat lain mengeluarkan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafal umum dengan dalil. Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 200.
[22] Hadist yang diriwayatkan sekelompok orang banyak yang tidak mungkin berbohong.
[23] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 200.
[24] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 205.
[25] Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 6.
[26] Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih Jilid 2...,  hlm. 6.
[27] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 205.
[28] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 206.                
[29] Suatu lafal tertentu yang belum ada kaitan atau batasandengan lafad lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih..., hlm 54.
[30] Firdaus, Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif, 2004), Jakarta: Zikrul Hakim.
[31] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 206.
[32] Suatu lafal tertentu yang memiliki batasan atau ikatan dengan lafal lain yang mengurangi keseluruhan jangjauannya. Kamal Muchtar, Ushul Fiqih..., hlm 54.
[33]Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2012) , hlm. 206.
[34] Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih..., hlm. 59.
[35] Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqih..., hlm 56.
[36] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 220.
[37] Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqh Jilid 2 (Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 66.
[38] Hal tersebut dinyatakan oleh jumhur ulama’ antara; lain oleh Ibnu al-Subki (w.771 H) ahli Ushul Fiqih dari kalangan Syafi’iyah. Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 220.
[39] Muchtar Yahya dan Fatchur Rohman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, t.th), hlm. 268.
[40] Kamal Muchtar dkk, Ushul Fiqh Jilid 2 (Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 64.
[41] Muchtar Yahya dan Fatchur Rohman, Dasar-Dasar..., hlm. 269.
[42] Pengertian tersebut dinyatakan oleh Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H) ahli Ushul Fiqih dari kalangan Syafi’iyah. Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 221.
[43] Abdul Wahab Khallaf,
[44] Wahbah al Zuhaili, Ushul al Fiqh al Islamy Juz II, (Dmaskus: Dr al Fikr, 2006), hlm. 338.
[45] Wahbah, Ushul II...,hlm. 336.
[46] Wahbah, Ushul II...,hlm. 337.
[47] Abdul Wahab Khallaf,... hlm. 171.
[48] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 226.
[49] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 228.
[50] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 228.
[51] Dikumakakan oleh para ulama Ushul Fiqih, di antaranya oleh Ali Hasabalah, ahli Ushul Fiqih berkebangsaan Mesir. Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 228-230.
[52] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 230.
[53] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 230.
[54] Satria Effendi, Ushul Fiqih..., hlm. 232.