Metode Istinbath
Melalui Pendekatan Bahasa
Oleh Anis Zulia A'limatun Nisa
A. Pendahuluan
Al Quran dan As
Sunnah merupakan merupakan sumber hukum Islam yang bersifat menyeluruh. Al Quran
juga merupakan sumber dan rujukan pertama bagi syari’at. Karena terdapat
kaidah-kaidah bersifat global beserta rinciannya. Keduanya merupakan obyek
kajian Ushul Fiqih.
Al Quran diturunkan di Arab dan berbahasa Arab, untuk
memahami teks-teks yang berbahasa Arab para ulama’ menyusun semantik yang digunakan
dalam praktik penalaran fiqih karena bahasa Arab menyampaikan pesan dengan
berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya.
Sebagaimana yang dikutib oleh Bahrissalim istinbath berarti
mengeluarkan hukum dan dalil. Jalan istinbath memberikan kaidah-kaidah
yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil. Seorang ahli hukum harus
mengetahuii prosedur cara penggalian hukum (thuruq al istinbath).
Menurut Al Syatibi ada tiga pendekatan yang dipakai para
mujtahid dalam memahami maqashid al syari’ah. Pertama, pendekatan
yang berorientasi pada tekstual dan menolak penalaran qiyas. Kedua, pendekatan
yang mendasarkan makna di balik nash dan tidak terikat dengan makna
tekstualnya. Ketiga, penggabungan
kedua pendekatan yakni para mujtahid menemukan maksud dengan tetap
memperhatikan lafal sekaligus tidak mengabaikan makna dan memperhatikan makna
bash tanpa mengabaikan lafal.
Para ulama’ Ushul membahas masalah bahasa dan
pengertian-pengertiannya terlebih dahulu sebab hal tersebut dapat memberikan
pengertian tertentu yang memberikan pandangan yang lebih tepat. Para ahli juga
telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, yang di antaranya akan
dijelaskan dalam makalah ini.
B. Pendekatan Kebahasaan
Istinbath secara bahasa adalah mengeluarkan, sedangkan
menurut istilah mengeluarkan makna-makna dari nash-nash (yang terkandung) dengan
menumpahkan pikiran dan kemampuan (potensi) naluriah.
Nash ada dua macam, yaitu:
a. Berbentuk bahasa (lafdziyah)
b. Tidak berbentuk bahasa tetapi dimaklumi (maknawiyah)
Kaidah lughowiyah adalah kaidah-kaidah yang dipakai oleh
ulama/ushul (ushuliyyin) berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan yang
telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan
penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraaan Arab.
Pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan adalah untuk
mengetahui dalil-dalil yang am dan khas, muthlaq dan muqayyad,
mujmal dan mubayyan, muhkam, mufassar, mutasyabih, nash, zhahir,
nasikh, mansukh, amr, nahy dan sebagainya. Dalam kaidah-kaidah kebahasaan
dikemukakan cara-cara menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan secara
dhahir, sehingga seluruh dalil yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah dapat
dipahami serta diamalkan. Persoalan hukum dalam pendekatan bahasa berhubungan
langsung dengan nash-nash dalam Al Quran dan Sunnah.
C. Bentuk-bentuk Pendekatan Kebahasaaan
1. Dari segi penyampaian teks
a. Amar (perintah)
Menurut mayoritas ulama’ Ushul Fikih, amar adalah
suatu tuntutan (Perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.
Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’ menyatakan
bahwa perintah untuk melakukan suatu
perbuatan disampaikan dalam berbagai gaya bahasa atau redaksi antara lain:
1) Perintah tegas dengan menggunakan kata amara dan
seakar-akarnya
2) Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan
diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba
3) Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah
khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah.
4) Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara
langsung.
5) Perintah dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang
disertai oleh lam al amr (huruf yang berarti perintah.
6) Perintah dengan menggunaka kata faradha (mewajibkan)
7) Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu
adalah baik.
8) Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak
atas pelakunya
Hukum-hukum yang dibentuk dari amr:
1) Menunjukkan hukum wajib
2) Menunjukkan kebolehan melakukan sesduatu
3) Sebagai anjuran
4) Untuk melemahkan
5) Sebagai ejekan dan penghinaan
Kaidah-kaidah
yang berhubungan dengan amr antara lain; pertama, kaidah yang
menyatakan bahwa pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban kecuali ada indikasi atau
dalil yang memalingkan dari hukum semula.
Hal tersebut telah disepakati
ahli bahasa dan didasarkan atas ayat 62 surat an Nur yang mengancam akan
menyiksa orang-orang yang menyalahi perintah Allah, adanya ancaman siksaan itu
menunjukkan bahwa perintah itu wajib dilaksanakan.
Kedua, دلالة الامر على التكرار او الوحدة
Suatu perintah harus dilakukan berulang kali
atau cukup dilakukan sekali saja. Menurut jumhur ulama’ ushul fiqih, pada
dasarnya suatu perintah tidak menunjukkkan harus berulang kali dilakukan
kecuali ada dalil, karena perintah pada dasarnya menunjukkan perlu terwujudnya
perbuatan yang diperintahkan dan perbuatan itu bisa terwujud meskipun
perintahnya hanya dilakukan satu kali.
Ketiga, دلالة الامر على الفوز او التراخى Perintah harus dilakukan segera atau boleh
ditunda-tunda. Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera
dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan , karena yang dimaksud
dari perintah itu sendiri adalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan.
Dengan demikian dapat dipahami
bahwa amr mengandung tiga komponen, yaitu al amir (yang
memerintah), al ma’mur alaih (mukallaf), dan al mubin (aturan).
Jumhur Ulama betpendapat bahwa lafal
amr diciptakan untuk memberi
pengertian wajib, selama lafal amr tetap dalam kemuthlaq-annya
menunjuk pada arti haqiqi, yakni wajib.
Jika ada dalil atau qarinah yang memalingkannya dari makna hakikatnya
maka petunjuk lafal amr dapat berubah sesuai perubahan dalil atau qarinah
yang menyertainya.
Contoh firman Allah yang
menunjukkan perintah:
...وا قيموا الصلاة وءاتو
الزكاة ...
“...dan dirikanlah solat dan tunaikanlah zakat...”
Ayat tersebut menunjukkan hukum
wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan zakat.
Amr dalam Ushul Fiqih merupakan
tuntutan dari Allah kepada hamba_Nya untuk memenuhi suatu perbuatan yang pada
dasarnya menunjukkan hukum wajib tanpa terikat dengan waktu dan kuantitas
pelaksanaannya. Sehingga semua perbuatan yang diperintah oleh syari’at bernilai
baik.
b. Nahi (Larangan)
Menurut bahasa nahi berarti larangan. Sedangkan menurut
istilah, nahi adalah larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.
طلب الكف عن الفعل على جهة
الاستعلاء بالصيغة الدال عليه
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannnya kepada pihak yang lebih tingkatannya dengan kalimat yang
menunjukkan atas hal itu.
Menurut al Ghazali dan al Amidi,
seperti yang dikutip oleh Wahbah, makna nahi ada tujuh macam yaitu tahrim, karihah, doa, irsyad, tahkir, bayanul
“aqibah dan al ya’.
Muhammad Khudari Bik menyebutkan
bahwa Allah mengggunakan ragam bahasa untuk menunjukkan suatu larangan.
1)
Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau
kata lain yang seakar. Secara bahasa naha berarti melarang.
2)
Larangan dengan menjelasakan bahwa suatu perbuatan
diharamkan.
3)
Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak
halal dilakukan.
4)
Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang
disertai huruf lam.
5)
Larangan dengan cara mengancam pelaku dengan siksaan
yang pedih.
6) larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan.
7)
Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu
sendiri.
Hukum yang ditunjukkan dalam
bentuk Larangan
1)
Untuk menunjukkan hukum haram
2)
Sebgai anjuran meninggalkan
3)
Penghinaan
4)
Untuk menyatakan permohonan
Kaidah-kaidah yang berhubungan
dengan Nahi
(Larangan)
a)
الاصل فى النهي للتحريم
b)
النهي عن الشيئ امر بضده
c)
الاصل في النهي يدل على فساد
المنهى عنه في العبادات
Pada dasarnya suatu larangan
menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu kecualui ada
indikasi yang menunjukkkan hukum lain.
Suatu larangan menunjukkan fasad
(rusak) perbuatan yang dilarang jika dikerjakan. Seperti yang dikemukakan
oleh Muhammad Adib Saleh kaedah tersebut disepakati oleh para ulama’ Ushul
Fiqih jika larangan tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan
terhadap hal-hal yang terletak di luar esensi perbuatan. Suatu larangan
terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.
Nahi merupakan suatu larangan
mengerjakan sesuatu atau hal, pada dasarnya mempunyai dampak hukum haram, namun
ada beberapa pendapat yang berselisih antara haram dan makruh. Nahi yang
berkaitan dengan masalah fasad menunjukkan bahwa nahi mengimplikasikan
ke fasad an dari sesuatu yang dilarang.
c. Takhyir (Memberi pilihan)
Menurut Abd. Al
Karim Zaidan, bahwa yang dimaksud takhyir adalah
ما خير الشارع المكلف بين فعله وتركه
syar’i
(Allah dan Rasul-Nya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau
tidak melakukan suatu perbuatan.
Hukum yang ditunjukkan oleh ayat atau hadis dalam bentuk takhyir
adalah halal atau mubah (boleh
dilakukan), dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika
ditinggalkan.
Menurut khudari Bik, untuk memberikan pilihan antara
melakukan atau tidak, Al Quran memberikan berbagai cara, antara lain:
1) Menyatakan bahwa suatu perbuatan halal dilakukan,
seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 187 yang menjelaskan tentang
kebolehan “halal” menggauli istri di malam hari saat bulan ramadhan.
2) Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan,
seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 173.
3) Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan
suatu perbuatan, seperti dalam firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 235
tentang pembolehan meminang wanita yang dalam iddah wafat, tetapi dengan
sindiran bukan terus terang.
2. Dari segi cakupan makna
a. ‘Am (Lafal Umum)
Sebagaimana yang dikutip oleh Satria dari Muhammad Adib
Saleh, lafal umum adalah lafal yang diciptakan untuk pengrtian umum ssuai
dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. Kata
yang menunjukkan makna umum, seperti:
1) Kata kull (setiap) dan jami’ (semua).
2) Kata jama’ yang disertai alif dan lam di
awalnya
3) Kata benda tunggal yang di-ma’rifat-kan dengan alif
lam.
4) Isim syarat (kata benda untuk mensyaratkan)
5) Isim nakirah (indefinite noun) yang dinafikan
6) Isim maushul (kata ganti penghubung).
Lafal umum,
seperti yang dijelaskan Musthafa Sa’id al Khin, Guru Besar Ushul Fiqih
Universitas Damaskus, dibagi menjadi tiga macam:
1) Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil
atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan)
2) Lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus
karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu.
3) Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan
bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau sebagian dari cakupannya.
Berkaitan dengan lafal umum, pasti berkaitan denga takhsis.
di antara dalil-dalil pen-takhsis, adalah al Quran, Sunnah dan qiyas.
Lafal umum setelah ditakhsis, keumumannya menjadi khusus (makna
sebagian). Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa ayat-ayat al Quran, dan hadits mutawatir,
dapat mentakhsis ayat-ayat
umum dalam Al Quran.
b. Khas (Lafal Khusus)
Lafal khas adalah lafal yang mengandung satu
pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
Lafal ini menunjukkan kepada sesuatu satuan tertentu artinya lafal itu hanya
diperuntukkan untuk hal-al yang tertentu. Lafal khas terdiri dari
afrad/satuan-satuan yang lain
Bila ada lafal khas dalam nash syar’i maka makna
khas yang ditunjukkan adalah qath’i bukan dzanny, selama tidak ada dalil
lain yang mengalihkan kepada tidak qath’i.
Seperti dalam firman Allah:
والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة
قروء
Dan wanita-wanita yang dithalaq suaminya itu hendaklah menunggu iddah
mereka selama tiga kali quru’ (haid atau suci). (al Baqarah:228)
Lafal tsalatsah adalah khash
dan maknanya qath’i. Jadi wanita yang dithalaq oleh suaminya harus
beriddah selama tiga quru’ (baca:haid). Lafal khash ada
yang muthlaq dan ada yang muqayyad.
3. Dari segi batasannya
a. Muthlaq
Secara bahasa muthlaq berarti bebas tanpa ikatan.
Menurut Ulama’ Ushul, muthlaq adalah لفظ خاص لم يقيد بقيد لفظي يقلل
شيوعه . Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa ayat yang bersifat mutlaq
harus dipahami secara mutlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya,
sebaliknya ayat yang bersifat muqayyad harus dilakukan sesuai dengan
batasan (kait) nya.
Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa
dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”,
kata-kata tersebut memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut
telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami.
Beberapa pendapat para ualam tentang muthlaq. Pertama, menurut
Khudhari Beik, muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu
atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi. Kedua,
menurut Abu Zahrah, muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk
terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya,
tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Ketiga.
menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz
yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.
Jadi,
Muthlaq adalah Lafal yang menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayid (pembatas).
Muthlaq hanya menunjukan kepada suatu individu tidak tertentu dari
hakikat tersebut. Lafal muthlaq pada umumnya berbentuk nakirah dalam
konteks kalimat positif.
b. Muqayyad
Secara bahas kata muqayyad berarti terikat.
Lafal muqayyad adalah لفظ خاص قيد بقيد لفظي يقلل شيوعه
. Lafal muqayyad adalah
lafal muthlaq yang diberikan kaitan dengan lafal lain sehingga artinya
lebih tegas dan terbatas namun keterbatasan lafal muqayyad tidak
menghilangkan jangkauan kepada lafad-lafad yang lain. Muqayyad merupakan
suatu lafadz yang menunjukkan
hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit
keluasan artinya.
Lafad muthlaq dan muqayyad
terdapat dalam ayat-ayat hukum dalam Al quran. Adapun kaidah Ushul Fiqih yang
berlaku atas ayat-ayat tersebut adalah ayat yang bersifat muthlaq harus
dipahami secara muthlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya, demikian juga
ayat yang bersifat muqayyad harus dipahami sesuai dengan batasan (kait)nya.
Dalam pandangan lain menyatakan
bahwa terkadang hukum nash syara’ pada suatu tempat dipahami sebagai lafad
muthlaq namun di tempat yang lain dipahami muqayyad.
Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad.
Pertama, hukum mutlak ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada
dalil yang membatasinya. Ketika ada suatu lafadz mutlaq, maka makna tersebut
ditetapkan berdasarkan kemutlakannya. Misalnya dalam surat an-Nisa:23 yang
menjelaskan tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi laki-laki. Di antara
perempuan itu adalah “ibu-ibu istrimu (mertua)”.Ayat ini sifatnya mutlak. Keharaman
menikahi ibu mertua tidak memedulikan apakah istrinya sudah digauli atau belum.
Kedua, lafal muthlaq yang
ada dalil lain yang disebutkan sehingga lafal tersebut menjadi muqayyad. Misalnya
dalam firman Allah surat an Nisa ayat 11, di mana dijelaskan bahwa lafal wasiat
adalah muthlaq tanpa ada batasan (seperdua, sepertiga atau seluruhnya). Akan
tetapi ada hadits Nabi yang menjelaskan bahwa harta yang yang diwasiatkan
adalah sepertiga saja (tidak boleh lebih). Sehingga lafal wasiat dalam
ayat tersebut menjadi muqayyad dengan hadits yang dijelaskan oleh
Rasulullah.
Ketiga, lafal muqayyad tetap
muqayyad karena tidak ada dalil lain yang menghapuskan batasannya.
Contohya firman Allah tentang kifarat zihar dalam surat al Mujadilah ayat 3-4,
pelaksanaan kifarat zihar dengan memerdekakan budak dan puasa selama dua bulan
berturut-turut dan harus dilakukan sebelum istri bercampur lagi adalah muqayyad
dengan ketentuan tersebut, tidak boleh dilakukan sesudah bercampur dan juga
tidak boleh tidak berurutan.
Keempat, lafal muqayyad yang
tidak menjadi muqayyad karena ada dalil lain yang menhapuskan batasan. Contohya
dalam firman Allah surat an Nisa ayat 23 tentang wanita-wanita yang haram
dinikahi. Keharaman menikahi anak tiri mempunyai dua sebab, yaitu anak tiri
dalam pemeliharaan bapak tiri dan ibu dari anak tiri yang dikawininya telah
digauli. Sebab kedua (telah menggauli ibu dari anak tiri) dipandang sebagai hal
yang membatasi, sedangkan alasan pertama hanya mengikuti saja. Jadi, bila ayah
tiri belum menggauli ibu kandung dari anak tiri, maka anak tiri boleh dinikahi,
tentu saja dengan menceraikan terlebih dahulu ibu dari anak tiri tersebut.
Jadi, hukum mengawini anak tiri yang semula haram (muqoyyad) menjadi halal
(karena batasan muqoyyad telah dihapus).
Hal – Hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan Muqayyad:
1)
Kemuthalaqan
dan kemuqayyadan terhadap pada sebab hukum, namun masalah (Maudhu’) dan
hukumnya sama, menurut jumhur ulama dari kalangan syafi’iyah, malikiyah dan
hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
2)
Muthlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya namun sebabnya
berbeda, masalah ini juga diperselisihkan, menurut Hanafiyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad melainkan
masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya.
Menurut Hanafiyah, merupakan suatu prinsip bahwa kita melaksanakan dalalah
lafal atas semua hukum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga
lafazh muthlaq tetap pada kemutlakannya dan lafazh muqayyad tetap pada
kemuqayyaddannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri.
Pembatasan terhadap keluasan makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari
lafazh itu sendiri berarti mempersempit yang bukan dari perintah syara’. Berdasarkan
pada ini lafazh mutlaq tidak bisa dibawa pada muqayyad, kecuali apabila terjadi
saling menafikkan antara dua hokum, yakni sekiranya mengamalkan salah satunya
membawa pada tanaqud (saling bertentangan).
Sedangkan Jumhur Ulama’ Al-Qur’an itu merupakan kesatuan hokum yang utuhdan
antara satu ayat dengan ayat yang lainnya berkaitan, sehingga apabila ada suatu
kata dalam al-qur’an yang menjelaskan hokum berarti hukukm itu sama pada setiap
tempat yang terdapat kata itu.(Asy-Syafi’i).
Alasan kedua, muqayyad itu harus menjadi dasar untuk menafikan dan
menjelaskan maksud lafal muthlaq, sebab mutlaq itu kedudukanyya bisa
dikatakan sebagai orang diam, yang tidak menyebut qayyid. Disini ia tidak
menunjaukkan adanya qayiid dan tidak pula menolaknya, sedangkan muqoyyid
sebagai orang yang berbicara , yang menjelaska adanya taqyid. Disini tampak
jelas adanya kewajiban memakai qayyid ketika adanya dan menolaknya
apabila tidak adanya. Sehingga kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu, lebih
baik dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan maksud muthlaq.
4. Dari segi pengertian dan pemahamannya
a. Mantuq
Mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan. Sedangkan
menurut istilah ushul fiqih berarti pengetahuan harfiah dari suatu hal yang
diucapkan. Menurut uilama’ ushul fiqih, mantuq dibagi menjadi dua:
1)
Mantuq
sharih, secara bahasa berarti sesuatu
yang diucapkan secara tegas. Menurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh
Mustafa Sa’id al-Khim, adalah makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu
lafal sesuai dengan penciptannya baik secara penuh atau berupa bagiannya.
2)
Mantuq ghairu sharih. Yaitu pengertian yang
ditarik bukan dari makna sli dari suatu lafal, melainkan sebagai konsekuensi
dari suatu ucapan. Mantuq jenis ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama
dalala al-ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh
suatu lafal, tetapi melalui pengertian logis karena menyebutkan suatu hukum
langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa. Kedua, Dalalat
al-Isyarat yaitu suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi,
namun bukan pengertian aslinya tetapi merupakan suatu kepastian atau
konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu. Ketiga, Dalalat al
Iqtida’ yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam
pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali
dengan adanya penyisipan itu.
b. Mafhum
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari
suatu teks, dan menurut istilah adalah pengertian tersirat dari suatu lafal (mahum
muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum
mukhalafah). Menurut ulama’ ushul fiqih dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Mafhum Muwafaqah, adalah penunjukan hukum melalui motivasi tersirat atau
alasan logis di mana rumusan hukum dalam mantuq dilandaskan.
2) Mafhum Mukhalafah, adalah penunjukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan
dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan.
5. Dari segi jelas dan tidak jelasnya makna
Jumhur ulama Ushul Fiqih membagi lafal dari segi jelas dan
tidak jelasnya kepada tiga tingkatan, yaitu nash, zhahir, dan mujmal,
a.
Nash
Secara etimologi, nash berarti az
zuhur (jelas), pengertian nash mengalami perkembangan. Pengertian nash
menurut Imam Syafi’i adalah teks Al Quran dan Sunnah Rasulullah, baik
secara tegas maupun secara tegas. Sedangkan pengertia nash menurut jumhur ulama (termasuk Al Ghazali), Nash
adalah lafal yang menunjukkan pengertian yang sama sekali tida ada
kebolehjadian pengertian lain baik jauh maupun dekat kecuali pengertian yang
cepat ditangkap ketika mendengarkan bunyi lafal itu.
Para ulama’ Ushul Fiqih bersepakat bahwa
kaidah Ushul Fiqih yang berlaku adalah segala sesuatu yang sudah tertulis
secara pasti wajib diamalkan, tidak dibenakan berijtihad. Artinya jika suatu
lafal sudah jelas dan tegas pengertiannya, ijtihad tidak diperlukan.
Misalnya firman Allah: من بعد وصية
يوصين بها او دين an Nisa 13, lafal nash harus diamalkan menurut arti yang ditunjuk
oleh lafal tersebut sampai ada dalil yang menta’wilkannya. Dalam contoh ayat di
atas, lafal wasiat dinyatakan secara muthlak kemudian dibatasi oleh hadits Nabi
dengan batasan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta peninggalan.
b.
Dhahir
Secara bahasa zhahir berarti al wudhuh (jelas). Menurut istilah zhahir
berarti lafal yang meuunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai pada
tingkatan zhanny (dugaan keras), artinya makna zhahir dari suatu
lafal lebih cepat ditangkap setelah mendengarkan lafal tersebut, namun masih
ada sedikit kebolehjadian pengertian lain selain pengertian yang ditangkap.
Dhahir adalah lafal yang menunjuk kepada suatu makna yang
dikehendaki oleh sighat lafal
tersebut, tetapibukan makna itu yang dikehendaki oleh sitaq al-kalam dan
lafal itumasih bisa dita’wilkan, ditafsirkan dan dapat dinasakh pada
masa Rasulullah.
Hukum lafal dhahir wajib diamalkan menurut arti yang ditunjuk
oleh lafal tersebut, kecuali ada dalil lain yang menta’wilkannya. Jika dhahir
berupa lafal muthlaq, maka wajib diamalkan sesuai dengan kemutlakannya sampai
ada dalil yang mentaqyidkannya. Jika dhahir berupa lafal ‘amm,
maka wajib diamalkan berdasarkan keumumannya sampai ada dalil yang
mengkhususkan atau diamalkan menurut arti yang ditunjuk oleh lafal itu sampai
ada dalil yang menasakhnya.
Ayat tersebut mengandung lafal dhahir, sebab makna yang
dikehendaki dan segera dapat dipahami dari ayat tersebut adalah halalnya
mengawini wanita-wanita yang disenangi. Akan tetapi jika diperhatikan siyaq
al kalam, maka bukanlah makna itu yang dimaksud. Maksud yang sebenarnya adalah
membatasi jumlah wanita yang boleh dikawini, yaitu empat orang.
c.
Mujmal
Secara etimologi mujmal berarti
sekumpulan sesuatu tanpa memerhatikan satu per satunya. Menurut istilah berarti
lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga untuk memahaminya memerlukan
penjelasan dari luar (al bayan).
Sedangkan lafal dari segi tidak jelasnya
pengertian, kalangan Hanafiyah membagi kepada empat tingkatan:
a.
Khafi
Khafi adalah lafal yang dari
segi penunjukkanya kepada makna adalah jelas, namun ketidakjelasan timbul
ketika menerapkan pengertian itu kepada masalah-masalah tertentu. Ketidakjelasan
tersebut disebabkan karena bentuk permasalahan tidak sama dengan permasalahan
yang ditunjukkan oleh suatu dalil.
Hukum khafi adalah wajib diteliti
sebab-sebab yang menyebabkan kekaburan makna, kemudian menetapkannya pada
permasalahan lain jika terenuhi unsur-unsurnya.
Seperti dalam firman Allah dalam surat
al Maidah ayat 38 tentang had bagi pencuri. Dalam firman tersebut mengandung
lafal khafi yang menunjukkan pada orang yang mengambil barang orang lain secara
diam-diam dari tempat penyimpanannya secara wajar. Akan tetapi, penerapannya
ada perbedaan. Jika lafal tersebut diterapkan pada pencopet (al-nasyyal)
dan pencuri kain kafan (al nabbasy) menimbulkan kekaburan dan untuk
mengetahuinya diperlukan penelitian dan pemikiran mendalam.
Dalam hal ini ulama cenderung memandang
adanya unsur pencurian pada pencopetan, bahkan sebagai pencurian plus sehingga
lebih wajib dipotong tangannya, demikian juga al nabbasy. Namun menurut
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa an nabbasy tidak dipotong tangannya
karena tidak terpenuhinya seluruh unsur pencurian dalam.
b.
Musykil
Musykil adalah lafal yang tidak jelas
pengertiannya, dan ketidakjelasan itu disebabkan karena lafal itu diciptakan
untuk beberapa pengertian yang berbeda, sehingga untuk mengetahui pengertian
yang dimaksud memerlukan dalil dari luar seperti dalam lafal musytarak (lafal
yang diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda hakikatnya).
Menurut Abdul Wahab Khallaf, musykil
adalah lafal yang sighotnya sendiri tidak menunjuk pada makna yang
dikehendaki, tetapi harus ada qarinah dari luar yang memperjelas maksud
yang dikehendakinya. Jadi, perlu mencari qarinahnya.
Misalnya dalam firman Allah dalam surat
al baqarah 228 yang artinya wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’. Kata quru’ dari dalam pemakaian bahasa Arab
berarti masa suci atau masa haid. Imam Syafi’i mengartikan dengan masa suci,
sedangkan Abu Hanifah mengartikan dengan masa haid. Pengertian yang berbeda
tersebut didasarkan pada qarinah atau dalil-dalil dari luar yang berbeda.
Setiap lafal musykil dalam Al quran dan
Sunnah, dalam memahami maknanya memerlukan upaya ijtihad dalam mencari
tanda-tanda atau dalil yang membantu untuk memperjelas pengertiannya.
c.
Mujmal
Mujmal menurut Hanafiyah adalah lafal
yang mengandung makna secara global di mana kejelasan maksud dan rinciannya
tidak dapat diketahui dari pengertian lafal tersebut, seperti istilah khusus
dalam pemakaian syara’.
d.
Mutasyabih
Mutasyabih menurut hanafiyah adalah
suatu lafal yang tidak menunjukkan kejelasan makna dan tidak ada tanda-tanda
atau dalil-dalil yang menjelaskannya. Iihak yang mengetahui maksudnya hanyalah
pembuat syariat.
6. Lafal dari segi pemakaiannya
a. Hakikat
Lafal
hakikat adalah lafal yang digunakan kepada pengertian aslinya sesuai
dengan maksud penciptaannya.
b. Majaz
Majaz adalah menggunakan lafal kepada selain pengertian
aslinya karena ada hubungannya dengan makna aslinya itu serta ada qarinah yang menunjukkan untuk itu.
Kaidah Ushul Fiqih yang berlaku adalah apabila suatu
lafal mengandung arti hakikat dan arti majazi. Maka yang didahulukan
adalah pengertian hakikatnya, kecuali ada indikasi yang menunjukkan pengertian majazi-nya.
Selama tidak ada indikasi yang menunjukkan kepada pengertian majaz, maka
suatu lafal harus diartikan dengan makna hakikatnya.
7. Ta’wil
Ta’wil berasal dari kata dasar al awlu yang
menurut bahasa berarti ar ruju’ ila al-ashl (kembali kepada asal), dan
dalam bentuk kata ta’wil bearti mengembalikan sesuatu kepada asal. Ta’wil
menurut ulama ushul fiqih berarti
pemalingan suatu lafal dari makna yang dhahir kepada makna lainyang tidak cepat
dapat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa makna tersebut adalah
makna yang dimaksud oleh lafal tersebut.
Menurut Adbi Shalih yang dikutip oleh Satria, ta’wil
banyak berlaku pada bidang hukum Islam. Adapun beberapa persyaratan yang
dikemukakan oleh Adib Shalih tentang ta’wil adalah sebagai berikut:
a. Lafal yang akan dita’wil mengandung beberapa pengertian,
baik ditinjau dari segi bahasa, kebiasaan atau dari segi penggunaan lafal dalam
Syari’at Islam.
b. Ada dalil atau indikasi yang menunjukkan bahwa yang
dimaksud oleh pembiara bukan makna dhahir-nya, tetapi makna yang tidak dhahir,
dan dalil atau indikasi itu lebih kuat dibandingkan dengan alasan
menetapkan suatu lafal pada makna hakikatnya.
SIMPULAN
Alquran
sebagai sumber hukum mempunyai struktur bahasa yang berbeda dengan
sumber-sumber lain. Dalam mengistinbathkan hukum-hukum yang dikandung oleh al
Quran harus memperhatikan berbagai struktur bahasa yang dipergunakan. Selain al
Quran sumber hukum hukum lain adala as Sunnah, Sunnah Rasulullah mendukung dan
menguatkan hukum-ukum yang ada dalam al Quran.
Dalam
menjelaskan hukum, al Quran menggunakan sighat yang berbeda, singga diperlukan
metode istinbath kebahsaan dalam menentukan suatu hukum. Adakalanya penjelasan
hukum dalam al Quran ada yang memerlukan penjelasan lain namun adapula yang
tidak memerlukan penjelasan-penjelasan lain, karena ayat al Quran bersifat
mujmal sehingga memerlukan tafsir atau ta’wil, dan ada pula yang bersifat
mthlak sehingga memerlukan taqyid.
Perbedaan
penetapan hukum hukum oleh para Ulama’ tetap ada, karena sudut pandang para
ulama berbeda-beda namun tetap mengarah untuk mewujudkan tatanan
umat yang hidup dalam naungan rahmatan lil ‘alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi,
Satria. 2012. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh
(metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensi. Jakarta: Zikrul Hakim.
Nasrun Haroen,
t.th. Ushul Fiqih 1. Jakarta:Logos.