Pendidikan sebagai media menjadi Insan Kamil

Rabu, 23 Maret 2016

Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama; Dari Positivistik-Sekularistik ke Teantroposentri



Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama;
Dari Positivistik-Sekularistik ke Teantroposentri[1]

Masyarakat menganggap ilmu dan agama sebagai dua etintas yang tidak bisa dipertemukan. Artinya keduanya berdiri masing-masing, ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu. Hal tersebut mengggambarkan praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan saat ini, sehingga menimbulkan beberapa dampak negatif bagi masyarakat.
Sejarah hubungan ilmu dan agama yang berasal dari dunia Barat dan Timur memiliki perbedaan pandangan. Dalam dunia Barat dimulai sejak pemimpin gereja menolak Teopri Heliosentris Galileo atau Teori Evolusi Darwin, Isaac Newton dan pokoh ilmu-ilmu sekuler menempatkan Tuhan hanya sebagai penutup sementara lobang kesulitan (to fill gaps)  yang tidak terpecahkan oleh keilmuan yang telah dimilki, dengan kata lain, kalangan ini menafikan eksistensi Tuhan sehingga intervensi Tuhan tidak diperlukan. Sedangkan dalam dunia Timur (baca;Islam), keilmuan agama Islam yang normatif-tekstual melepaskan hubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Teknpologi, ilmu sosial, ekonomi, hukum dan humaniora pada umumnya.
Kedua paradigma itu menimbulkan pola pikir bipolar-dikotomis sehingga menjadikan manusia terasing dari nilai-nilai spiritualitas-moralitas, terasing dari lingkungannya sendiri. Dengan kata lain, menumbuhkan proses dehumanisasi secara massif baik pada tataran kehidupan keilmuan maupun keagamaan.

A.  Mengakhiri Dikotomi Agama dan Ilmu dalam Praktek Kependidikan
Dalam sejarah, pengembangan keilmuan yang dipelopori oleh Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun sudah berpola  intregalistik-ensiklopedik, sedangkan para ahli hadis dan ahli fiqih mengembangkan keilmuan agama dengan pola spesifik-parsialistik. Keterpisahan secara diamentral dan sebab lain lain yang bersifat politis ekonomis mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam.
Adapun akibat yang ditimbulakan antara lain tidak tercatatnya nama Ilmuwan Muslim dalam ketiga revolusi peradaban sebagai pengembang ilmu pengetahuan, perkembangan dan pertumbuhan ilmu ilmu sekuler tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia, perkembangan dan pertumbuhan Perguruan Tinggi (baca: Islam) hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman normatif era klasik.
Gerakan rapproachmenty (kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan meruipakan suatu keniscayaan. Gerakan tersebug sebagai gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan.

B.  Tantangan Perguruan Tinggi Agama Era Globalisasi dan Informasi
Perubahan di era global manjadikan masyarakat (baca: masyarakat keagamaan) mempunyai sifat terbuka dan semakin begantung dengan kultur budaya yang bersifat global. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan di era globalisasi, dimana harus direspon dengan tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam. Diperlukan sebuah keniscayaan untuk menghadapi hal tersenut yaitu dengan melakukan re-orientasi pemikiran tentang pendidikan Islam dan rekontruksi sistem dan kelembagaan.
Pemikiran tersebut melahirkan sebuah gagasan untuk mengembangkan IAIN sebagai pilot project menjadi UIN di bawah Departemen Agama Republik Indonesia dengan corak epistemologi keilmuan dan etika moral yang integralistik. Fakultas agama tetap dipertahankan dengan pengembangan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa IAIN di era global serta diperkuat tenaga pengajar dan dosen-dosen dengan berbagai metode dan pendekatan baru dalam islamic studies, humanities, dan ilmu-ilmu sosial, sedangkan pada fakultas umum dibekali muatan spiritualitas dan moral keagamaan yang lebih kritis dan terarah dalam format integrated curriculum.
Pengembangan IAIN diharapkan akan melahirkan pendidikan Islam yang ideal ndi masa depan. Program reintegrasi epistemologi keilmuan dan implikasinya dalam proses belajar mengajar secara akademik akan menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.

C.  Visi Baru Program Reintegrasi Epistemologi Keilmuan Jaring Laba-Laba Keilmuan Tantroposentriss-Integralistik
Konsep yang dipelopori oleh Amin Abdullah merupakan pengembangan konsep Kuntowijoyo, Amin Abdullah memberi beberapa ilustrasi tambahan dalam konteks studi keislaman yang berkembang selama di IAIN serta dikembangkan secara integratif di masa depan.
Agama merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya. Sedangkan Al-Qur’an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta Grand Theory ilmu. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu seperti yang diklaim oleh ilmu sekuler. Agama mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan sedikit pengetahuan namun tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan. Oleh karena itu menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu sumber dari Tuhan dan dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentrisme.
Tolak ukur kebenaran (dharuriyah; benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (hajiyah; baik, buruk), tujuan ilmu (tahsiniyah; manfaat, merugikan). Selain ontologi (whatness), epistemologi (howness), agama menekankan dimensi aksiologi (whyness). Induk agama melahiran ilmu yang objektif atau mengalami objektifikasi. Ilmu tidak dirasakan sebagai norama (normativitas) tetapi sebagai gejala keilmuan yang objektif (sisi historisitas-empirisitas. Objektifikasi ilmu adalah ilmu yang diberikan oleh orang yang beriman kepada seluruh manusia.
Ilmu-ilmu sekuler yang mengklaim sebagai value free ternyata penuh muatan kepentingan Padahal produk keilmuan harus bermanfaat untuk manusia seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin). Paradigma keilmuan baru yang menyatukan, tidak sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran-pikiran manusia, namun diharapkan konsep integralistik dan reintegrasi epistemologi keilmuan dapat menyelaraskan konflik antar sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal.
Amin Abdullah telah mengilustrasikan hubungan jaring laba-laba keilmuan yang bercorak teoantroposentrisintegralistik. Lapisan lingkar jaring laba-laba dihuni oleh berbagai disiplin keilmuan yang berbeda dan seharusnya digunakan secara integratif-interkonektif. Dimulai dari kajian Islam klasik (Ilmu Kalam, Falsafah Tarikh, Fiqh, Tafsir, Lughah), modern (Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat) dan kontemporer
Dalam jaring laba-laba jarak pandang dan horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam kehidupan sektor tradisional maupun modern lantaran dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan era informasi-globalisasi. Disamping itu tergambar sosok yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh kemanusiaan dan keagamaan era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan yang objektif dan kokoh, karena keberadaan Al-Qur’an dan al-Sunnah yang dimaknai secara baru selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschaunung) keberagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Kesemuanya diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan.


D.  Upaya-Upaya Pengembangan Akademik dan Kelembagaan ke Depan
Dalam pengelolaan pendidikan ada poerbedaaan pengelola antara Indonesia dengan negara-negara lain. Pada tanggal 3 januari 1946, pemerintah Indonesia meresmikan Departemen Agama untuk melayani “birokrasi” berbagai keperluan Umat Islam Indonesia, kemudian diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan pendidikan agama (MI, MTs, MA, IAIN, STAIN) secara mandiri. Pengelolaan pendidikan agama diserahkan sepenuhnya kepada Departemen Agama dan tidak diserahkan kepada Departemen Pendidikan.
Sedangkan di negara-negara lain (baca: Turki) penyelenggaraan pendidikan umum dan agama sepenuhnya diserahkan kepada Kementrian Pendidikan. Hal tersebut menjadikan pendidikan agama di lembaga pendidikan yang sepadan dengan MTs dan MA (Imam Khatib Schooll/lisesi) berkembang sangat pesat. Kiprah alumni yang telah menyebar di berbagai lapisan masyarakat dicurigai oleh pemerintah “sekular” dan akhirnya mereka menutup sekolah tersebut dengan alasan tidak sejalan dengan nasionalisme-sekular.
Setelah diresmikannya UIN Jakarta Mei 2002, seluruh komponen bangsa Indonsia terutama Departemen Agama perlu menyusun blue print baru yang jelas ke depan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan perkembangan yang akan terjadi. Departemen Agama sebagai induk dari IAIN, STAIN dan UIN harus berpikir sungguh-sungguh dan sistematis untuk menata ulang lalu-lintas percaturan pendidikan agama dan pendidikan umum di bawah naungan Departemen Agama.
Umat Islam tertinggal dua peristiwa penting dalam sejarah peradaban dunia, yaitu era Revolusi Hijau dan era Revolusi Industri. Oleh karena itu, perlu sebuah upaya agar Indonesia tidak tertinggal di era Revolusi Informasi. Umat Islam (baca: penyelenggara pendidikan) segera mengambil langkah strategis dengan tindakan korektif-evaluatif terhadap paradigma keilmuan yang telah berjalan serta memberi tawaran tawaran yang solutif uintuk menghadapi perjalanan yang akan datang.











[1] Resume sub tema dari bagian 1; Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman dalam buku Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 92-114.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar