Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan
Umum dan Agama;
Dari Positivistik-Sekularistik ke Teantroposentri[1]
Masyarakat menganggap ilmu dan agama sebagai dua etintas yang tidak
bisa dipertemukan. Artinya keduanya berdiri masing-masing, ilmu tidak
mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu. Hal tersebut
mengggambarkan praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan saat ini, sehingga
menimbulkan beberapa dampak negatif bagi masyarakat.
Sejarah hubungan ilmu dan agama yang berasal dari dunia Barat dan
Timur memiliki perbedaan pandangan. Dalam dunia Barat dimulai sejak pemimpin
gereja menolak Teopri Heliosentris Galileo atau Teori Evolusi Darwin, Isaac
Newton dan pokoh ilmu-ilmu sekuler menempatkan Tuhan hanya sebagai penutup
sementara lobang kesulitan (to fill gaps) yang tidak terpecahkan oleh keilmuan yang
telah dimilki, dengan kata lain, kalangan ini menafikan eksistensi Tuhan
sehingga intervensi Tuhan tidak diperlukan. Sedangkan dalam dunia Timur
(baca;Islam), keilmuan agama Islam yang normatif-tekstual melepaskan hubungan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Teknpologi, ilmu sosial, ekonomi, hukum
dan humaniora pada umumnya.
Kedua paradigma itu menimbulkan pola pikir bipolar-dikotomis sehingga
menjadikan manusia terasing dari nilai-nilai spiritualitas-moralitas, terasing
dari lingkungannya sendiri. Dengan kata lain, menumbuhkan proses dehumanisasi
secara massif baik pada tataran kehidupan keilmuan maupun keagamaan.
A.
Mengakhiri
Dikotomi Agama dan Ilmu dalam Praktek Kependidikan
Dalam sejarah, pengembangan keilmuan yang dipelopori oleh Ibnu
Sina, Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun sudah berpola intregalistik-ensiklopedik, sedangkan para
ahli hadis dan ahli fiqih mengembangkan keilmuan agama dengan pola spesifik-parsialistik.
Keterpisahan secara diamentral dan sebab lain lain yang bersifat politis
ekonomis mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam.
Adapun akibat yang ditimbulakan antara lain tidak tercatatnya nama
Ilmuwan Muslim dalam ketiga revolusi peradaban sebagai pengembang ilmu
pengetahuan, perkembangan dan pertumbuhan ilmu ilmu sekuler tercerabut dari
nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia, perkembangan dan pertumbuhan
Perguruan Tinggi (baca: Islam) hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan
teks-teks keislaman normatif era klasik.
Gerakan rapproachmenty (kesediaan untuk saling menerima
keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan meruipakan
suatu keniscayaan. Gerakan tersebug sebagai gerakan penyatuan atau reintegrasi
epistemologi keilmuan.
B.
Tantangan
Perguruan Tinggi Agama Era Globalisasi dan Informasi
Perubahan di era global manjadikan masyarakat (baca: masyarakat
keagamaan) mempunyai sifat terbuka dan semakin begantung dengan kultur budaya
yang bersifat global. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan di era globalisasi,
dimana harus direspon dengan tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam.
Diperlukan sebuah keniscayaan untuk menghadapi hal tersenut yaitu dengan
melakukan re-orientasi pemikiran tentang pendidikan Islam dan
rekontruksi sistem dan kelembagaan.
Pemikiran tersebut melahirkan sebuah gagasan untuk mengembangkan
IAIN sebagai pilot project menjadi UIN di bawah Departemen Agama
Republik Indonesia dengan corak epistemologi keilmuan dan etika moral yang
integralistik. Fakultas agama tetap dipertahankan dengan pengembangan kurikulum
yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa IAIN di era global
serta diperkuat tenaga pengajar dan dosen-dosen dengan berbagai metode dan
pendekatan baru dalam islamic studies, humanities, dan ilmu-ilmu sosial,
sedangkan pada fakultas umum dibekali muatan spiritualitas dan moral keagamaan
yang lebih kritis dan terarah dalam format integrated curriculum.
Pengembangan IAIN diharapkan akan melahirkan pendidikan Islam yang
ideal ndi masa depan. Program reintegrasi epistemologi keilmuan dan
implikasinya dalam proses belajar mengajar secara akademik akan menghilangkan
dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
C.
Visi
Baru Program Reintegrasi Epistemologi Keilmuan Jaring Laba-Laba Keilmuan
Tantroposentriss-Integralistik
Konsep yang dipelopori oleh Amin Abdullah merupakan pengembangan
konsep Kuntowijoyo, Amin Abdullah memberi beberapa ilustrasi tambahan dalam
konteks studi keislaman yang berkembang selama di IAIN serta dikembangkan
secara integratif di masa depan.
Agama merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya.
Sedangkan Al-Qur’an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan
dapat menjadi teologi ilmu serta Grand Theory ilmu. Wahyu tidak
pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu seperti yang diklaim oleh
ilmu sekuler. Agama mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum,
kebijaksanaan, dan sedikit pengetahuan namun tidak pernah menjadikan wahyu
Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan. Oleh karena
itu menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu sumber dari
Tuhan dan dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentrisme.
Tolak ukur kebenaran (dharuriyah; benar, salah), bagaimana
ilmu diproduksi (hajiyah; baik, buruk), tujuan ilmu (tahsiniyah; manfaat,
merugikan). Selain ontologi (whatness), epistemologi (howness),
agama menekankan dimensi aksiologi (whyness). Induk agama melahiran ilmu
yang objektif atau mengalami objektifikasi. Ilmu tidak dirasakan sebagai norama
(normativitas) tetapi sebagai gejala keilmuan yang objektif (sisi
historisitas-empirisitas. Objektifikasi ilmu adalah ilmu yang diberikan oleh
orang yang beriman kepada seluruh manusia.
Ilmu-ilmu
sekuler yang mengklaim sebagai value free ternyata penuh muatan
kepentingan Padahal produk keilmuan harus bermanfaat untuk manusia seluruh umat
manusia (rahmatan lil ‘alamin). Paradigma
keilmuan baru yang menyatukan, tidak sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan
temuan pikiran-pikiran manusia, namun diharapkan konsep integralistik dan
reintegrasi epistemologi keilmuan dapat menyelaraskan konflik antar sekularisme
ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang rigid dan radikal dalam
banyak hal.
Amin Abdullah telah mengilustrasikan hubungan jaring laba-laba keilmuan
yang bercorak teoantroposentris–integralistik. Lapisan lingkar jaring laba-laba dihuni oleh berbagai
disiplin keilmuan yang berbeda dan seharusnya digunakan secara
integratif-interkonektif. Dimulai dari kajian Islam klasik (Ilmu Kalam,
Falsafah Tarikh, Fiqh, Tafsir, Lughah), modern (Antropologi, Sosiologi,
Psikologi, Filsafat) dan kontemporer
Dalam jaring
laba-laba jarak pandang dan horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic)
sekaligus terampil dalam kehidupan sektor tradisional maupun modern lantaran
dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang
kehidupan era informasi-globalisasi. Disamping itu tergambar sosok yang
terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh kemanusiaan
dan keagamaan era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai
pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer.
Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi
landasan etika-moral keagamaan yang objektif dan kokoh, karena keberadaan
Al-Qur’an dan al-Sunnah yang dimaknai secara baru selalu menjadi landasan pijak
pandangan hidup (weltanschaunung) keberagamaan manusia yang menyatu
dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Kesemuanya diabdikan untuk
kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang
etnisitas, agama, ras maupun golongan.
D.
Upaya-Upaya
Pengembangan Akademik dan Kelembagaan ke Depan
Dalam pengelolaan pendidikan ada poerbedaaan pengelola antara
Indonesia dengan negara-negara lain. Pada tanggal 3 januari 1946, pemerintah Indonesia
meresmikan Departemen Agama untuk melayani “birokrasi” berbagai keperluan Umat
Islam Indonesia, kemudian diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan pendidikan
agama (MI, MTs, MA, IAIN, STAIN) secara mandiri. Pengelolaan pendidikan agama
diserahkan sepenuhnya kepada Departemen Agama dan tidak diserahkan kepada
Departemen Pendidikan.
Sedangkan di negara-negara lain (baca: Turki) penyelenggaraan
pendidikan umum dan agama sepenuhnya diserahkan kepada Kementrian Pendidikan. Hal
tersebut menjadikan pendidikan agama di lembaga pendidikan yang sepadan dengan
MTs dan MA (Imam Khatib Schooll/lisesi) berkembang sangat pesat. Kiprah
alumni yang telah menyebar di berbagai lapisan masyarakat dicurigai oleh
pemerintah “sekular” dan akhirnya mereka menutup sekolah tersebut dengan alasan
tidak sejalan dengan nasionalisme-sekular.
Setelah diresmikannya UIN Jakarta Mei 2002, seluruh komponen bangsa
Indonsia terutama Departemen Agama perlu menyusun blue print baru yang
jelas ke depan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan perkembangan yang akan
terjadi. Departemen Agama sebagai induk dari IAIN, STAIN dan UIN harus berpikir
sungguh-sungguh dan sistematis untuk menata ulang lalu-lintas percaturan pendidikan
agama dan pendidikan umum di bawah naungan Departemen Agama.
Umat
Islam tertinggal dua peristiwa penting dalam sejarah peradaban dunia, yaitu era
Revolusi Hijau dan era Revolusi Industri. Oleh karena itu, perlu sebuah upaya
agar Indonesia tidak tertinggal di era Revolusi Informasi. Umat Islam (baca:
penyelenggara pendidikan) segera mengambil langkah strategis dengan tindakan
korektif-evaluatif terhadap paradigma keilmuan yang telah berjalan serta
memberi tawaran tawaran yang solutif uintuk menghadapi perjalanan yang akan
datang.
[1] Resume sub
tema dari bagian 1; Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman dalam buku Amin Abdullah, Islamic
Studies Di Perguruan Tinggi, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm.
92-114.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar