Ngalap
Barokah di
Penjara suci
Di
penghujung senja, rintik hujan membasahi
genteng yang catnya mulai mengelupas. Setelah Gus Zakky menutup paengajian
dengan lantunan do’a yang sudah menjadi kebiasaan. Terlihat seorang santri langsung lari ke
belakang sebelum do’a selesai. Sebut saja namanya Ihda, biasanya santri-santri
memanggil mbak Ihda, mbak Ihda mengambil jemuran di lantai dua, mbak Ihda lari
tergesa-gesa karena takut jemurannya basah.
Mbak Ihda mempunyai kebiasaan yang
berbeda dengan santri-santri yang lain, setiap pagi mbak Ihda harus bangun pagi-pagi
kemudian menuju dapur, dan menyiapkan segala persiapan. Mulai dari
bersih-bersih, menyiapkan apa yang mau dimasak
sampai memasaknya. Mbak Ihda mengerjakannya dengan hati yang begitu
ihlas tanpa mengeluh sedikitpun, walaupun harus melakukan itu semua setiap
hari, Mbak Ihda tidak pernah meninggalkan yang namanya tahajjud . mbak ihda
mempunyai satu keinginan yang secara logika tidak bisa dicapai namun Mbak Ihda
selalu Berdoa kepada Allah..
Sudah dua tahun mbak Ihda mengabdi di ndalem, semua santri
mengenalnya. Mbak Ihda terkenal dengan sebutan “sandal”, wajar saja
santri-santri menyebut “sandal” karena hampir seharian penuh mbak Ihda menghabiskan
waktunya di ndalem Abah, paling-paling masuk kamar kalau mau mandi, mau tidur
dan mau berangkat ke sekolah. karena sangat ta’dzim Mbak Ihda rela tidak pulang
dikala teman-temanya pada pulang untuk liburan di rumah.
“Mbak Ihda…..Mbak Ihda….Mbak Ihda….
Dipanggil Abah”. Suara Neng Icha yang serak-serak merdu menghentikan langkah
Mbak Na’im sahabat Mbak Ihda yang akan menuju mushollah, Neng Icha mencari Mbak
Ihda namun Mbak Ihda tidak ada di kamar karena hari ini Mbak Ihda ada jadwal
les sore di sekolahnya.
Neng
icha yang masih lugu meninggalkan mbak Na’im dan kembali ke ndalem tanpa
membawa Mbak Ihda. Mbak na’im mengambil air wudhu karena jamaah sudah menunggu.jam
dinding menunjukkan pukul 15.30 WIB dan jama’ah akan segera dimulai.
“teeeeeeeet……teeeeeet……Teeeeetzz”.
Para santri berlarian menuju kolam wudhu, karena belum ada kesadaran untuk
segera ke mushollah sebelum bel berbunyi, santri-santri banyak yang berebutan
mengambil air wudhu antri yang begitu panjanpun terjadi, itulah kebiasaan yang
sering dilakukan santri-santri saat mengambil air wudhu.
Sebelum
jamaah dimulai, Mbak Na’im kembali ke kamar untuk mengecek adek-adeknya, tepat
di depan tangga Mbak Na’in bertemu dengan mbak Ihda. Setelah menyampaikan pesan
Neng Icha, Mbak Na’im menuju tempat sholatnya. Mbak Ihda buru-buru ke kamar
meletakkan tasnya kemudian segera menuju ke ndalem Abah Yai.
Sampai
di depan ndalem Abah, Mbak Na’im langsung mengucapkan salam, Gus Zakky yang
sudah menunggu langsung menjawab salamnya dan memepersilahkan masuk, Gus Zakky
menjelaskan pada Mbak Ihda mengapa beliau memanggilnya. Setelah menerima
penjelasan Mbak Ihda langsung menundukkan kepala walau wajahnya agak berubah
setelah medengarkan penjelasan Gus Zakky. Sebelum Mbak Ihda meninggalkan ndalem
Abah Yai, Ibu memberi bungkusan untuk dibawa ke pondok dan dibagi pada teman-temannya.
Setelah
berpamitan, Mbak Ihda mengucapakan salam dan kembali ke pondok. Mbak Ihda
langsung ikut mengaji walau belum mandi. “Mandi bisa nomer sekian dan bisa dilakukan
nanti setelah mengaji” Kata Mbak Ihda.
Mbak Ihda langsung ambil posisi di dekat jemuran, di samping ndalem. Disitulah
tempat Mbak Ihda mengaji, tidak pernah pindah-pindah tempat, kapanpun waktu
mengajinya Mbak Ihda selalu di dekat jemuran.
Materi
pengajian saat ini adalah tentang barokah, “ kata barokah sudah tidak asing
lagi bagi kita semua, apalagi bagi santri-santri yang sudah mondok seperti
kalian semua, oleh sebab itu sebagai banyak sekali santri-santri yang sukses
karena mendapatkan barokah dari Sang Kyai” begitulah yang didengar Mbak Ihda di
akhir pengajian. Itu adalah kesimpulan dari pengajian sore itu. Walaupun hanya
kesimpulannya saja yang di dengar, Mbak Ihda sangat senang karena bisa tetap
istiqomah mengaji. Dan Mbak Ihda juga menemukan jawaban yang sedari dulu
dicarinya, kini Mbak Ihda menjadi tahu kenapa Mbak-Mbak yang sudah menjadi
alumni sering mengatakan “disini kita tidak hanya niat mencari ilmu saja namun
juga sering diembel-embeli niat ngalap
barokah.
Setelah
Gus Arif meninggalkan tempat dan selesai melantunkan do’a, santri-santri
berebutan mencari tempat sholat. Suara gaduhpun terdengar kembali, ada yang
yang rebut meletakkan muknah, ada juga yang berlarian untuk membeli makan dan
ada juga yang berlarian menuju kamar mandi.
Mbak
Ihda mengambil muknah Neng Icha dan Muknahnya sendiri, Mbak Ihda langsung
meletakkan kedua muknah tersebut di barisan terdepan dekat dengan jemuran,
walaupun Mbak Ihda tidak ikut berebutan mencari tempat sholat, santri-santri
selalu menyisakan tiga atau dua tempat di barisan paling depan. Tak satupun
santri yang berani menempati tempat itu. Padahal Mbak Ihda juga tidak pernah
meminta santri untuk menyisakannya dan tidak pernah melarang untuk
menempatinya. Kebiasaan ini sudah terjadi turun temurun, mungkin itu adalah
bentuk rasa hormat dan ta’dziem pada Ibu Pengasuh dan keluarga ndalem.
Mbak
Naim mendekat pada Mbak Ihda yang duduk disamping muknahnya, Mbak Ihda dan Mbak
Naim adalah dua sahabat sejoli semenjak awal masuk pesantren, namun Mbak Ihda
lebih dekat dengan keluarga ndalem, karena mereka berdua mempunyai asal-usul
yang berbeda. Tanpa disuruh bercerita, Mbak Ihda langsung bercerita pada Mbak
Na’im mengapa Gus Zakky memangginya. Mbak Ihda meminta pendapat pada Mbak
Na’im. “ Apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi semua ini, kamu tahu
sendiri kan shob, bagaimana keadaanku saat ini, aku harus membantu keluargaku
di rumah, tapi disisi lain aku juga masih ingin menimba ilmu disini dan
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, aku bingung shob”.
Ungkapan Mbak Ihda kepada Mbak Na’im. Sejenak Mbak Na’I berpikir kemudian
mengambil nafas panjang sebelum menaggapi ungkapan sahabatnya.
“Begini
Shob, mungkin ini sudah menjadi jalanmu, Kamu masih ingat kata-kata ustadz Arif
tadi kan? Apalagi kata-kata mbak-mbak
alumni yang sering mengatakan ta’dzim pada Kyai dan ngalap barokah, Allah telah menjawab Do’amu yang sudah engkau
panjatkan di sepertiga malam_Nya. Sang Pencipta Langit mengabulkan doa’mu lewat
Gus Zakky, dan mungkin inilah barokah dari apa yang telah engkau kerjakan
setiap hari disini, Kau selalu ta’dzim pada Ibu, Abah dan keluarga ndalem yang
lain, Sampaikan keinginanmu pada kedua orang tuamu dan juga jangan lupa
sampaikan ini pula pada beliau, aku yakin beliau lebih mengerti keinginanmu,
ingat hidup adalah pilihan, engkau harus bisa memilih yang terbaik bagimu,
keluargamu dan semuanya yang telah mendukungmu”. Mbak Na’im tidak memberi
keputusan namun Mbak Na’im memberikan sedikit penjelasan yang bisa membantu
Mbak Ihda untu menentukan pilihan.
“Terima
kasih shobat, jawabanmu benar-benar membantuku, aku akan melaksanakan saranmu
setelah aku pulang, kau selalu ada disampingku disaat aku senang bahkan disaat
aku sedih, aku tak akan melupakanmu”. Segores senyum dibibir Mbak Ihda
mengembang kembali.
“Teeeeeeetz….Teeeeeeetz….Teeeeeetz…..”
suara bel agar para santri segera mengambil air wudhu. Hiruk pikuk para santri
dan jeritan suara antripun menyelimuti pesantren. Mbak Ihda dan Mba Na’in
langsung menuju tempat wudhu, mereka berdua ikut antri menunggu giliran wudhu.
Para santri harus wudhu satu-satu bergantian di kran yang jumlahnya sangat
terbatas namun setelah melihat Mbak Ihda dan Mbak Na’im mengantri, ada beberapa
orang santri mempersilahkan Mbak Na’im dan Mbak Ihda untuk wudhu duluan.
Mbak Ihda dan Mbak
Na’im adalah sahabat sejoli yang dipertemukan di As Sudara P.P.P Alma’ruf
walau dari kelurga yang sangat berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar