PERBANDINGAN
PENDAPAT DARI ULAMA MADZHAB TENTANG
PENENTUAN
AWAL PUASA DENGAN RU’YATUL HILAL
Disusun
dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
Kuliah : Perbandingan Madzhab
Dosen
Pengampu : Drs. H . Khariri .S, M.Ag
Disusun
oleh:
Latifatul Marhamah (102331109)
Tri Nurhani (102331121)
Tarbiyah/
6 PAI3
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2013
PENDAHULUAN
Puasa Ramadhan adalah puasa yang diwajibkan, untuk semua
orang-orang muslim atau orang-orang yang beriman, sesuai denga Firman-Nya dalam
Q.S al-Baqarah:183. Dan termasuk dari salah satu dari rukun Islam yang lima,
oleh karena itu akan dianggap keluar dari Islam, orang yang tidak melaksanakan
puasa dibulan Ramadhan. Dan dalam puasa Ramadhan ini, banyak terdapat
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi, diantaranya dari mulai syarat-syaratnya,
hal-hal yang membatalkan puasa, orang-orang
yang diperbolehkan tidak berpuasa, sampai pada penentuan waktu awal berpuasa.
Dan dari sekian banyak ketentuan-ketentuan yang ada, seringkali
dari para ulama, mereka berbeda pendapat. Hal tersebut terjadi tidak lain bukan
karena salah satu itu lebih benar dari yang yang lainnya, akantetapi perbedaan
tersebut terjadi karena memang dikarenakan adanya banyak faktor yang melatar
belakangi.
Seperti halnya untuk penentuan awal puasa pada bulan Ramadhan,
seringkali terjadi dan sudah menjadi ibarat bahan rutinitas tiap tahunan dan
menjadi perbincangan hangat tiap kali menjelanga datangnya bulan suci Ramadhan,
yaitu terjadi banyak perbedaan pendapat tentang tepatnya untuk kapan
memulainya.
Sekiranya sedemikian menarik tema tersebut, sehingga pemakalah pada
pembahasan kali ini, dengan tema sentralnya adalah “puasa” lebih memilih untuk
mengangkat tema tersebut, yakni perbedaan pendapat dari para ulama madzhab
tentang penentuan awal puasa dengan menggunakan ru’yatul hilal.
Sekiranya kurang lebih yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah mengenai:
a.
Pengertian
puasa
b.
Penentuan Awal
Puasa dengan Ru’yatul Hilal menurut masing-masing madzhab
PEMBAHASAN
A.
Tentang Puasa
Puasa adalah menahan nafsu dari segala yang membatalkan di siang
hari, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Sedang puasa pada bulan
Ramadhan merupakan salah satu rukun dari beberapa rukun Islam. Hukum berpuasa
pada bulan Ramadhan adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil Al Qur’an Surat
Al Baqarah ayat 183 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al
Baqarah: 183)
Puasa mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban, tahun kedua Hijriyah.
Puasa merupakan fardhu ‘ain bagi setiap Mukallaf, dan tak seorangpun dibolehkan
berbuka, kecuali mempunyai sebab-sebab
seperti : haid dan nifas, orang yang sakit, wanita hamil yang hampir melahirkan,
dan wanita yang sedang menyusui, musafir, orang tua renta. Ketentuan-ketentuan
puasa meliputi syarat-syarat berpuasa, sunnah berpuasa, hal-hal yang
membatalkan puasa, dll.
Selain ketentuan-ketentuan tersebut ada hal lain yang perlu
diperhatikan dalam berpuasa pada Bulan Ramadhan yaitu waktu untuk memulai
berpuasa dengan menetapkan awal bulan Ramadhan.
B.
Penentuan Awal
Puasa dengan Ru’yatul Hilal
Orang yang sudah melihat bulan pada ufuk, berarti awal Ramadhan
sudah masuk dan berarti wajib pula melakukan ibadah puasa. Penentuan dalam
Islam memang dengan bulan (hilal), sebagaimana firman Allah dalam Q.S
al-Baqarah: 189. [1]
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ
لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ
ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ
أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan
sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia
dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah
agar kamu beruntung. (Q.S al-Baqarah:189)
Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa apabila ada yang melihat hilal
seorang diri, maka ia wajib mengamalkan apa yang dilihatnya itu tanpa membedakan
antara hilal Ramadhan dengan hilal Syawal. Siapapun yang melihat hilal
Ramadhan, maka ia wajib berpuasa, sekalipun semua manusia tidak puasa. Dan
siapapun yang melihat hilal Syawal, maka ia wajib berbuka walaupun semua
orang dibumi masih berpuasa, tidak membedakan apakah yang melihat itu orang
adil atau tidak, wanita atau lelaki. Tetapi dalam masalah-masalah berikut ulama
madzhab berbeda pendapat.[2]
1)
Perbedaan
Pendapat dari para Ulama Madzhab tentang pwal Puasa dengan Ru’yatul Hilal:
a.
Oleh sebagian
ulama dianggap sah, bila dilihat oleh orang yang adil, walaupun hanya seorang.
Sebagai landasannya ialah Ibnu Umar menyatakan, bahwa seorang telah melihat
bulan (hilal) dan berita itu disampaikan kepada Rasululloh. Beliau berpuasa
bersama-sama orang lain.[3]
b.
Sebagian ulama
lagi memandang sah, bila dilihat dua orang yang adil. Golongan ini berpegang
pada qiyas, yaitu menentukan bulan Zulhijjah, dalam kaitan wukuf di Arafah,
harus diketahui lebih dahulu awal Zul hijjah.untuk menentukan awal Zulhijjah
dipandang sah, bila dilihat oleh dua orang yang adil. Hal ini berarti bahwa
melihat awal bulan Ramadhan dan awal Zulhijjah sama saja, tidak ada bedanya.[4]
c.
Hanafi, Maliki
dan Hambali.
Bila hilal telah nampak pada suatu daerah, maka seluruh penduduk
berbagai daerah wajib berpuasa, tanpa membedakan antara jauh dan dekat dan
tidak perlu lagi beranggapan adanya perbedaan munculnya hilal.[5]
Ulama Hanafiah menganggap sah, bila dilihat oleh orang banyak,
dengan ketentuan bila cuaca terang. Sebab, bila cuaca terang tentu banyak orang
yang melihatnya. Berbeda sekiranya cuaca tidak terang, dianggap sah walaupun
hanya dilihat oleh seorang saja.[6]
d.
Imamiyah dan
Syafi’i
Kalau penduduk suatu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain
tidak melihatnya, bila dua daerah tersebut berdekatan, maka hukumnya satu.
Tetapi kalau munculnya berbeda, maka setiap daerah mempunyai hukum khusus.[7]
Menurut Imam Syafi’i, untuk ru’yatul hilal Ramadhan cukup satu
orang saksi, dan untuk hilal berbuka lebaran harus dua saksi. Berdasarkan
sebuah hadits yang artinya: “Dari Umar r.a ia berkata: ‘menusia telah ribut
mengatakan hilal Ramadhan telah ada lalu aku kabarkan kepada Rasululloh SAW.
Bahwa aku telah melihatnya, lalu beliaupun berpuasa, dan disurunhya manusia
mulai berpuasa.” (H.R Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Dan hadits lain yang dijadikan landasan oleh imam Syafi’i yaitu
hadits yang berbunyi:
جَاءَأعْرَابِيٌ
إلَى رَسُوِل اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَا ل: اِنَّى رَاَيْتُ هِلَالَ رَمَضَا
نَ فَقَالَ: أتَشْهَدُاَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ؟ قَالَ:نَعَمْ،
قَالَ:تَشْهَدُاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ: يَا بِلَالُ ، اَذِّنْ فِى
النَّاسِ فَلْيَصُومُواغَدًاا
Artinya: ”Dari Ibnu Abbas r.a ia berkata, ‘pernah datang seorang
Arab Badui kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, ‘sesungguhnya aku telah melihat
hilal (bulan), maka Rasulalloh SAW bertanya:’maukah engkau mengaku bahwa tidak
ada Tuhan melainkan Allah?, ia menjawab, ‘mau, ya Rasulalloh SAW. Rasulalloh
SAW bertanya lagi, ‘maukah engkau mengaku bahwa Muhammad itu utusan Allah?. Ia
menjawa, ‘mau, ya Rasulalloh SAW. Kemudian Rasulalloh SAW bersabda: Hai Bilal!
Beritaulah kepada manusia agar mereka puasa esok hari.” (H.R Tirmidzi dan
Abu Dawud).[8]
2)
Perbedaan
Pendapat Jika Hilal Nampak Pada Waktu
Siang Hari
Apabila hilal muncul pada waktu siang hari sebelum zawal
(tergelincir matahari) atau sesudahnya pada tanggal 30 Sya’ban sehingga
menimbulkan pertanyaan apakah siang itu merupakan akhir Sya’ban sehingga tidak
wajib berpuasa, atau ia sudah termasuk awal bulan Ramadhan sehingga wajib
berpuasa? Dengan ungkapan lain, apakan hari itu pada waktu nampaknya hilal
termasuk bulan lalu atau yang akan datang?
Imamiyah, Syafi’i, Maliki dan Hambali: ia termasuk pada bulan yang
lalu, bukan yang akan datang. Dari itu, dia wajib berpuasa pada hari berikutnya
(besoknya) kalau hilal itu nampak pada akhir Sya’ban. mereka sepakat bahwa
hilal itu harus ditetapkan dengan ru’yah (penglihatan) berdasarkan sabda
Rasulalloh: “Berpuasalah kalian setelah melihat (ru’yah) hilal dan
berbukalah berdasarkan ru’yah (penglihatan) hilal”.
Namum mereka berbeda pendapat tentang selain ru’yah (penglihatan):
a.
Imamiyah: untuk
menetapkan awal Ramadhan harus ditetapkan secara mutawatir dan dengan dua orang
saksi lelaki dan adil dan tanpa membedakan apakah cuaca pada waktu itu terang
atau berawan, dan juga tidak membedakan apakah dua saksi tersebut dari satu
daerah atau dari dua daerah yang berdekatan, dengan syarat kesaksian keduanya
tidak bertentangan dalam menjelaskan tentang hilal. Kesaksian wanita,
anak-anak, orang fasik, dan orang yang tidak tahu keadaan tidak diterima
b.
Hanafi:
Penetapan hilal Ramadhan cukup dengan saksi satu orang lelaki dan satu orang
wanita dengan syarat: Islam, berakal dan adil. Tetapi kalau langit cerah, tidak
bisa ditetapkan kecuali dengan kesaksian jama’ah, sehingga dapat mengetahuinya
(hilal) dengan berita mereka.
c.
Maliki: Hilal
itu tidak bisa ditetapkan kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil dan
tidak pula antara langit cerah maupun tidak cerah.
d.
Syafi’i: setiap
hilal Ramadhan, cukup ditetapkan denga kesaksian satu orang lelaki yang adil,
dengan syarat: Muslim, berakal, dan adil tanpa membedakan apakah langit ketika
itu cerah atau tidak.
e.
Hambali: hilal
itu bisa ditetapkan cukup dengan kesaksian seorang yang adil, baik wanita
maupun lelaki. Kalau Syawal hanya bisa ditetapkan dengan kesaksian dua orang
yang adil[9]
KESIMPULAN
Dari awal pembahasan di atas, makalah ini menjelaskan tentang puasa di
bulan Ramadhan dengan fokus masalah tentang penentuan awal Ramadhan yang
menimbulkan munculnya perbedaan pendapat
di kalangan para Imam Madzhab.
Sejumlah topik yang menjadi perdebatan para Imam Madzhab dalam
menentukan awal Ramadhan telah dipaparkan diatas yaitu mengenai ketetapan awal
Ramadhan dengan Ru’yah Hilal dan bagaimana menentukan waktu awal bulan Ramdhan
ketika hilal muncul pada waktu siang hari. Masing-masing Imam mengemukakan
pendapatnya pada kedua masalah tersebut dengan di sertai dalil-dalil yang
mendasarinya
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M Ali. 2000. Perbandingan Madzhab Fiqih. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada
Mughniyah, Muhamad Jawad. 2006. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta:
LENTERA.
Mas’ud, Ibnu dan Zainal abidin.
2007. Fiqih Madzhab Syafi’i buku I: Ibadah. Bandung: CV Pustaka Setia.
[2] Muhamad Jawad
Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: LENTERA. 2006. Hal: 170
[3] M Ali Hasan.
Perbandingan Madzhab Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000. Hal: 93
[4] Ibid.
Hal: 93
[5] Muhamad Jawad
Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: LENTERA. 2006. Hal: 170
[6] M Ali Hasan. Perbandingan
Madzhab Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000. Hal: 93
[8] Ibnu Mas’ud
dan Zainal abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i buku I: Ibadah. Bandung: CV
Pustaka Setia. 2007. Hal:507-508
Tidak ada komentar:
Posting Komentar