Pendidikan sebagai media menjadi Insan Kamil

Minggu, 20 Desember 2015

PENETAPAN AWAL PUASA DENGAN RU'YATUL HILAL

PERBANDINGAN PENDAPAT DARI ULAMA MADZHAB TENTANG
PENENTUAN AWAL PUASA DENGAN RU’YATUL HILAL


stain 1


Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Perbandingan Madzhab
Dosen Pengampu : Drs. H . Khariri .S, M.Ag
                                                                           



Disusun oleh:
Latifatul Marhamah             (102331109)
Tri Nurhani                           (102331121)
Tarbiyah/ 6 PAI3     




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2013
PENDAHULUAN
Puasa Ramadhan adalah puasa yang diwajibkan, untuk semua orang-orang muslim atau orang-orang yang beriman, sesuai denga Firman-Nya dalam Q.S al-Baqarah:183. Dan termasuk dari salah satu dari rukun Islam yang lima, oleh karena itu akan dianggap keluar dari Islam, orang yang tidak melaksanakan puasa dibulan Ramadhan. Dan dalam puasa Ramadhan ini, banyak terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi, diantaranya dari mulai syarat-syaratnya, hal-hal yang membatalkan puasa,  orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa, sampai pada penentuan waktu awal berpuasa.
Dan dari sekian banyak ketentuan-ketentuan yang ada, seringkali dari para ulama, mereka berbeda pendapat. Hal tersebut terjadi tidak lain bukan karena salah satu itu lebih benar dari yang yang lainnya, akantetapi perbedaan tersebut terjadi karena memang dikarenakan adanya banyak faktor yang melatar belakangi.
Seperti halnya untuk penentuan awal puasa pada bulan Ramadhan, seringkali terjadi dan sudah menjadi ibarat bahan rutinitas tiap tahunan dan menjadi perbincangan hangat tiap kali menjelanga datangnya bulan suci Ramadhan, yaitu terjadi banyak perbedaan pendapat tentang tepatnya untuk kapan memulainya.
Sekiranya sedemikian menarik tema tersebut, sehingga pemakalah pada pembahasan kali ini, dengan tema sentralnya adalah “puasa” lebih memilih untuk mengangkat tema tersebut, yakni perbedaan pendapat dari para ulama madzhab tentang penentuan awal puasa dengan menggunakan ru’yatul hilal.
Sekiranya kurang lebih yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai:
a.       Pengertian puasa
b.      Penentuan Awal Puasa dengan Ru’yatul Hilal menurut masing-masing madzhab

PEMBAHASAN
A.    Tentang Puasa
Puasa adalah menahan nafsu dari segala yang membatalkan di siang hari, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Sedang puasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun dari beberapa rukun Islam. Hukum berpuasa pada bulan Ramadhan adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 183 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Puasa mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban, tahun kedua Hijriyah. Puasa merupakan fardhu ‘ain bagi setiap Mukallaf, dan tak seorangpun dibolehkan berbuka, kecuali mempunyai sebab-sebab  seperti : haid dan nifas, orang yang sakit, wanita hamil yang hampir melahirkan, dan wanita yang sedang menyusui, musafir, orang tua renta. Ketentuan-ketentuan puasa meliputi syarat-syarat berpuasa, sunnah berpuasa, hal-hal yang membatalkan puasa, dll.
Selain ketentuan-ketentuan tersebut ada hal lain yang perlu diperhatikan dalam berpuasa pada Bulan Ramadhan yaitu waktu untuk memulai berpuasa dengan menetapkan awal bulan Ramadhan.
B.     Penentuan Awal Puasa dengan Ru’yatul Hilal
Orang yang sudah melihat bulan pada ufuk, berarti awal Ramadhan sudah masuk dan berarti wajib pula melakukan ibadah puasa. Penentuan dalam Islam memang dengan bulan (hilal), sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Baqarah: 189. [1]
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S al-Baqarah:189)
Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa apabila ada yang melihat hilal seorang diri, maka ia wajib mengamalkan apa yang dilihatnya itu tanpa membedakan antara hilal Ramadhan dengan hilal Syawal. Siapapun yang melihat hilal Ramadhan, maka ia wajib berpuasa, sekalipun semua manusia tidak puasa. Dan siapapun yang melihat hilal Syawal, maka ia wajib berbuka walaupun semua orang dibumi masih berpuasa, tidak membedakan apakah yang melihat itu orang adil atau tidak, wanita atau lelaki. Tetapi dalam masalah-masalah berikut ulama madzhab berbeda pendapat.[2]
1)      Perbedaan Pendapat dari para Ulama Madzhab tentang pwal Puasa dengan Ru’yatul Hilal:
a.    Oleh sebagian ulama dianggap sah, bila dilihat oleh orang yang adil, walaupun hanya seorang. Sebagai landasannya ialah Ibnu Umar menyatakan, bahwa seorang telah melihat bulan (hilal) dan berita itu disampaikan kepada Rasululloh. Beliau berpuasa bersama-sama orang lain.[3]
b.    Sebagian ulama lagi memandang sah, bila dilihat dua orang yang adil. Golongan ini berpegang pada qiyas, yaitu menentukan bulan Zulhijjah, dalam kaitan wukuf di Arafah, harus diketahui lebih dahulu awal Zul hijjah.untuk menentukan awal Zulhijjah dipandang sah, bila dilihat oleh dua orang yang adil. Hal ini berarti bahwa melihat awal bulan Ramadhan dan awal Zulhijjah sama saja, tidak ada bedanya.[4]
c.    Hanafi, Maliki dan Hambali.
Bila hilal telah nampak pada suatu daerah, maka seluruh penduduk berbagai daerah wajib berpuasa, tanpa membedakan antara jauh dan dekat dan tidak perlu lagi beranggapan adanya perbedaan munculnya hilal.[5]
Ulama Hanafiah menganggap sah, bila dilihat oleh orang banyak, dengan ketentuan bila cuaca terang. Sebab, bila cuaca terang tentu banyak orang yang melihatnya. Berbeda sekiranya cuaca tidak terang, dianggap sah walaupun hanya dilihat oleh seorang saja.[6]
d.   Imamiyah dan Syafi’i
Kalau penduduk suatu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain tidak melihatnya, bila dua daerah tersebut berdekatan, maka hukumnya satu. Tetapi kalau munculnya berbeda, maka setiap daerah mempunyai hukum khusus.[7]
Menurut Imam Syafi’i, untuk ru’yatul hilal Ramadhan cukup satu orang saksi, dan untuk hilal berbuka lebaran harus dua saksi. Berdasarkan sebuah hadits yang artinya: “Dari Umar r.a ia berkata: ‘menusia telah ribut mengatakan hilal Ramadhan telah ada lalu aku kabarkan kepada Rasululloh SAW. Bahwa aku telah melihatnya, lalu beliaupun berpuasa, dan disurunhya manusia mulai berpuasa.” (H.R Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Dan hadits lain yang dijadikan landasan oleh imam Syafi’i yaitu hadits yang berbunyi:
جَاءَأعْرَابِيٌ إلَى رَسُوِل اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَا ل: اِنَّى رَاَيْتُ هِلَالَ رَمَضَا نَ فَقَالَ: أتَشْهَدُاَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ؟ قَالَ:نَعَمْ، قَالَ:تَشْهَدُاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ: يَا بِلَالُ ، اَذِّنْ فِى النَّاسِ فَلْيَصُومُواغَدًاا
Artinya: ”Dari Ibnu Abbas r.a ia berkata, ‘pernah datang seorang Arab Badui kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, ‘sesungguhnya aku telah melihat hilal (bulan), maka Rasulalloh SAW bertanya:’maukah engkau mengaku bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah?, ia menjawab, ‘mau, ya Rasulalloh SAW. Rasulalloh SAW bertanya lagi, ‘maukah engkau mengaku bahwa Muhammad itu utusan Allah?. Ia menjawa, ‘mau, ya Rasulalloh SAW. Kemudian Rasulalloh SAW bersabda: Hai Bilal! Beritaulah kepada manusia agar mereka puasa esok hari.” (H.R Tirmidzi dan Abu Dawud).[8]

2)      Perbedaan Pendapat Jika  Hilal Nampak Pada Waktu Siang Hari
Apabila hilal muncul pada waktu siang hari sebelum zawal (tergelincir matahari) atau sesudahnya pada tanggal 30 Sya’ban sehingga menimbulkan pertanyaan apakah siang itu merupakan akhir Sya’ban sehingga tidak wajib berpuasa, atau ia sudah termasuk awal bulan Ramadhan sehingga wajib berpuasa? Dengan ungkapan lain, apakan hari itu pada waktu nampaknya hilal termasuk bulan lalu atau yang akan datang?
Imamiyah, Syafi’i, Maliki dan Hambali: ia termasuk pada bulan yang lalu, bukan yang akan datang. Dari itu, dia wajib berpuasa pada hari berikutnya (besoknya) kalau hilal itu nampak pada akhir Sya’ban. mereka sepakat bahwa hilal itu harus ditetapkan dengan ru’yah (penglihatan) berdasarkan sabda Rasulalloh: “Berpuasalah kalian setelah melihat (ru’yah) hilal dan berbukalah berdasarkan ru’yah (penglihatan) hilal”.
Namum mereka berbeda pendapat tentang selain ru’yah (penglihatan):
a.    Imamiyah: untuk menetapkan awal Ramadhan harus ditetapkan secara mutawatir dan dengan dua orang saksi lelaki dan adil dan tanpa membedakan apakah cuaca pada waktu itu terang atau berawan, dan juga tidak membedakan apakah dua saksi tersebut dari satu daerah atau dari dua daerah yang berdekatan, dengan syarat kesaksian keduanya tidak bertentangan dalam menjelaskan tentang hilal. Kesaksian wanita, anak-anak, orang fasik, dan orang yang tidak tahu keadaan tidak diterima
b.    Hanafi: Penetapan hilal Ramadhan cukup dengan saksi satu orang lelaki dan satu orang wanita dengan syarat: Islam, berakal dan adil. Tetapi kalau langit cerah, tidak bisa ditetapkan kecuali dengan kesaksian jama’ah, sehingga dapat mengetahuinya (hilal) dengan berita mereka.
c.    Maliki: Hilal itu tidak bisa ditetapkan kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil dan tidak pula antara langit cerah maupun tidak cerah.
d.   Syafi’i: setiap hilal Ramadhan, cukup ditetapkan denga kesaksian satu orang lelaki yang adil, dengan syarat: Muslim, berakal, dan adil tanpa membedakan apakah langit ketika itu cerah atau tidak.
e.    Hambali: hilal itu bisa ditetapkan cukup dengan kesaksian seorang yang adil, baik wanita maupun lelaki. Kalau Syawal hanya bisa ditetapkan dengan kesaksian dua orang yang adil[9]







KESIMPULAN
Dari awal pembahasan di atas, makalah ini menjelaskan tentang puasa di bulan Ramadhan dengan fokus masalah tentang penentuan awal Ramadhan yang menimbulkan  munculnya perbedaan pendapat di  kalangan para Imam Madzhab.
Sejumlah topik yang menjadi perdebatan para Imam Madzhab dalam menentukan awal Ramadhan telah dipaparkan diatas yaitu mengenai ketetapan awal Ramadhan dengan Ru’yah Hilal dan bagaimana menentukan waktu awal bulan Ramdhan ketika hilal muncul pada waktu siang hari. Masing-masing Imam mengemukakan pendapatnya pada kedua masalah tersebut dengan di sertai dalil-dalil yang mendasarinya













DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M Ali. 2000. Perbandingan Madzhab Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Mughniyah, Muhamad Jawad. 2006. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: LENTERA.
Mas’ud, Ibnu  dan Zainal abidin. 2007. Fiqih Madzhab Syafi’i buku I: Ibadah. Bandung: CV Pustaka Setia.





[1] M Ali Hasan. Perbandingan Madzhab Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000. Hal: 92
[2] Muhamad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: LENTERA. 2006. Hal: 170
[3] M Ali Hasan. Perbandingan Madzhab Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000. Hal: 93
[4] Ibid. Hal: 93
[5] Muhamad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: LENTERA. 2006. Hal: 170
[6] M Ali Hasan. Perbandingan Madzhab Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000. Hal: 93
[7] Muhamad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: LENTERA. 2006. Hal: 170
[8] Ibnu Mas’ud dan Zainal abidin. Fiqih Madzhab Syafi’i buku I: Ibadah. Bandung: CV Pustaka Setia. 2007. Hal:507-508
[9] Muhamad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: LENTERA. 2006. Hal: 171-172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar